"I don't wanna look at anything else now that I saw you,
I don't wanna think of anything else now that I thought of you.
I've been sleeping so long in a twenty year dark night,
And now I see daylight, I only see daylight."Daylight - Taylor Swift
Lima hari terhitung sejak Hana keluar dari rumah sakit, Arthur dan Hana menjalani hari-harinya seakan tidak terjadi apa-apa. Selain Hana yang mengunjungi ayahnya setiap hari di rumah sakit karena beliau belum kembali normal, Hana menangani kabar mengenai penyakit yang diidap ayahnya dengan cukup baik.
Hana menyibukkan sisa harinya dengan mencari kegiatan dan asupan yang membantu tumbuh kembang janin. Meski setelah mendapatkan daftar saran kegiatan untuk ibu hamil, hanya bagian makan sehatnya yang dilakukan. Istri Arthur itu malah memainkan game hingga terkadang lupa waktu dan Arthur harus hampir secara harfiah membawa Hana ke tempat tidur.
Hari ini agak berbeda. Setelah MRI menunjukan hasil positif atas multiple sclerosis, Arthur meminta pada Hana untuk melakukan tes spinal tap. Tidak seperti Hana yang menerima diagnosa itu dengan senyum yang tegar, dua hari lalu Arthur menangis dalam pelukan Hana setelah mereka pulang dari rumah sakit. Memang kemungkinannya besar untuk Hana dapat hidup dengan normal karena sejauh ini tidak ada gejala serius, tapi Hana akan terus hidup dengan rasa sakit. Memikirkannya saja Arthur tidak mau, entah bagaimana Hana bisa menerima hal itu begitu saja.
"Selama kamu di sini, aku yakin aku baik-baik aja," itulah yang dijawab Hana ketika Arthur bertanya mengenai perasaan Hana.
Sore itu, Arthur menunggu Hana di kursi yang ada di lorong menuju ruang legal, sepulang dari kantor mereka akan ke rumah sakit untuk mengetahui hasil tes. Karena tidak fokus dengan pekerjaannya, Arthur memilih menunggu Hana lima belas menit sebelum jam pulang kantor. Ditemani dengan bunyi derap kaki dan orang-orang yang membicarakan pekerjaan di sekelilingnya.
Namun, beberapa menit menuju jam pulang kantor, Hana sudah keluar dari ruangan dengan tas di tangan. Istrinya tersenyum begitu cerah dengan mata yang begitu cantik di balik kacamata yang dipakainya hari ini. "Karyawan lainnya nyuruh aku cepat-cepat pulang karena kamu nunggu."
Arthur tersenyum balik mengulurkan tangannya pada Hana. "Sini, duduk dulu."
"Capek, banyak kerjaan?" tanya Hana sembari duduk di samping Arthur setelah menggenggam tangannya.
Menggelengkan kepalanya, Arthur membawa tangan Hana ke bibirnya. Mengecup tangan sang istri untuk beberapa lama. "Aku gak bisa mikir apa-apa selain hasil tes kamu hari ini."
Setelah tidak mendengar tanggapan apa pun dari Hana, Arthur menoleh dan melihat Hana yang tersenyum begitu samar. Senyum yang sama saat Hana mendapati Arthur sedang menangis di atas tempat tidur, lalu bergumam bahwa Hana memiliki suami yang cengeng.
"MRI kemarin udah konklusif, Arthur," jelas Hana, mungkin selembut yang wanita itu bisa. Terasa seperti Hana yang mencoba menenangkan Arthur lagi. Jantungnya berdenyut ngilu, ketika untaian masalah dalam hidup Hana mulai terurai, masalah baru datang mengusik Hana kembali. Terlebih, kali ini benar-benar tidak ada yang bisa Arthur lakukan, penyakit yang diidap Hana bukan penyakit yang bisa disembuhkan.
Tes spinal tap kali ini adalah jalan terakhir sebelum Arthur harus menghadapi dan menerima kenyataan, ia benar-benar tidak bisa membuat Hana bahagia seutuhnya. "Aku tahu."
Dua puluh lima hingga tiga puluh lima tahun, itulah yang diucapkan Dokter Sasha mengenai sisa umur Hana. Usia istrinya tidak akan jauh lebih panjang dari almarhum ayah Arthur ketika beliau meninggal dan saat akhirnya Hana pergi, apa yang akan Arthur lakukan?
"Aku ... takut," Arthur mengakui, "Aku takut kamu pergi lebih dulu dari aku."
Mendengar kalimat itu dari bibir Arthur, Hana malah tertawa. "Kayaknya kamu lebih takut aku mati daripada aku."
Mata Arthur membeliak, tangan yang menggenggam milik Hana berpindah ke pipi Hana dan mencubitnya dengan cukup keras. Benar-benar wanitanya ini, bercandanya sering kelewatan. "Udah aku bilang, kalau lagi jadi ibu hamil, omongannya dijaga."
"Iya, iya. Maaf!" Hana mengaduh di sela tawanya, menepuk-nepuk tangan Arthur agar melepaskan cubitan di pipi. Hana terkekeh untuk beberapa saat sambil mengelus-elus pipi setelah tangan Arthur melepaskannya sementara Arthur memalingkan muka, ia kesal dengan Hana yang bisa-bisanya menganggap hal serius ini sebagai candaan.
Namun, ketika Arthur masih memalingkan muka, Arthur merasakan Hana memeluk lengannya dan menyandarkan kepala di bahu Arthur. Saat Arthur menengok karena berpikir Hana kembali merasakan sakit kepala, ia melihat sang istri sedang melamun dengan senyum sedihnya kembali membentuk bibir. "Aku gak mau jadi ticking bomb, aku gak mau jadi pengingat waktu untuk kamu terluka. Kalaupun waktu kita yang tersisa itu terbatas, aku cuma mau kamu bahagia."
Arthur menelan gumpalan udara di tenggorokannya sewaktu mendengar kata-kata Hana. Demi apa pun yang ada di dunia, Arthur tidak rela jika hanya ia seorang yang bahagia. "Aku gak akan bahagia kalau kamu sendiri gak bisa bahagia, Hana."
"Siapa bilang aku gak bahagia?" tanya Hana, entah kenapa senyum wanita itu melebar.
Siapa bilang?
"Terlihat jelas, sewaktu sama aku pun, kamu gak sepenuhnya bahagia," jelas Arthur, merasa murung dengan jawabannya sendiri.
Hana tidak langsung menjawab, wanita itu menegakkan tubuhnya dan melerai pelukannya dari lengan Arthur, kemudian, jari-jari tangan Hana menelusup di sela jari milik Arthur. Wanita itu mengangkat tangan Arthur sementara Arthur bertanya-tanya apa yang sedang dimaksud istrinya ketika bertanya, "Kenapa jam tangan kamu cuma punya dua belas angka sementara satu hari ada dua puluh empat jam?"
Arthur menggelengkan kepalanya, tidak mengetahui jawaban yang dicari Hana.
"It's more than meets the eye." Arthur terdiam menatap wanita di sampingnya tersenyum sambil memperhatikan jam tangan milik Arthur. Bibir Hana berucap, melanjutkan, "The same as my happiness will always be twenty four even though it appears to be twelve. As long as you're the one who wears it."
Setelah menggantungkan kalimatnya Hana tersenyum sambil melihat Arthur dan tangannya menyentuh wajah suaminya. Senyum yang tidak pernah Arthur lihat sebelum ini dan akhirnya Arthur mengerti.
Kebahagiaan bagi Hana bukanlah sesuatu yang hebat, bukan semburat merah yang begitu jelas menuntut perhatian. Kebahagiaan bagi Hana adalah warna keemasan sederhana seperti matahari pagi yang hangat ketika Arthur membuka mata dengan Hana berada dalam dekapannya.
Maka Arthur pun menghargai keputusan Hana, untuk menjadi pengingat waktu baginya.
Bukan pengingat untuk Arthur menunggu luka.
Namun, pengingat untuk Arthur selalu merasa bahagia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jam Tangan Milik Arthur ✔
Lãng mạnSemenjak kematian sang ayah tahun lalu, Arthur meninggalkan sekolah doktornya di London dan berkutat dalam keseharian sebagai penerus perusahaan milik kakeknya, Riezky Syah. Didahului oleh salah satu adik kembar ke pelaminan, Arthur membuat ibunya k...