"Memories of a stolen place caught in the silence, an echo lost in space."
Waves - Dean Lewis
Sudah berbulan-bulan tidak bertemu, Gendhis masih sama seperti yang Arthur ingat. Kalem, baik, ramah, dan cantik tanpa usaha lebih. Tapi, cincin di jari manis Gendhis adalah hal yang selalu menyita perhatian Arthur setiap kali mereka berjumpa. Bukannya tidak rela, cincin itu muncul seperti pengingat untuk kegagalan Arthur. Kegagalan untuk menjaga salah satu perempuan yang penting di hidup Arthur.
"Hey," panggil Gendhis, mengibaskan tangannya di hadapan Arthur. "Ngeliatin apa?"
Arthur menghela napas sebelum menjawab, "Kamu mau sampai kapan pakai cincin dari cowok berengsek itu?"
Pandangannya beralih dari dari tangan Gendhis ke gadis yang sedang bermain dengan beberapa anak kecil, sepertinya diminta untuk membacakan cerita untuk mereka. Hana meminta untuk mereka beristirahat sebentar di panti hingga beres salat ashar sebelum menuju ke tol. Lalu, sambil menunggu azan tiba, gadis itu memutuskan untuk bermain dengan anak-anak di sana sementara Arthur duduk bersama Gendhis, memperhatikan dan mengobrol sesekali.
"Ibu, Ibu! Dibacain bukuku sama Tante itu." Seorang anak laki-laki bermata coklat terang, yang mungkin baru saja menginjak usia taman kanak-kanak, memegang buku dengan tangan kanan dan tangan kirinya menunjuk ke arah Hana.
"Eh, gak boleh tunjuk-tunjuk begitu, Alvin." Gendhis setengah tertawa lalu menurunkan tangan kiri Alvin ke sisi tubuh bocah itu. "Tantenya baik, ya?"
Anak laki-laki itu mengangguk, tersenyum semringah dan menunjukkan deretan gigi dengan salah satunya yang tanggal. "Dikasih makanan, enak!"
"Udah bilang makasih?" tanya Gendis pada Alvin dan bocah itu menggelengkan kepala. Setelah Gendhis menyuruhnya untuk berterima kasih, wanita itu kembali menatap Arthur. "Aku lepas kalau kamu udah nikah, Arthur," candanya dan terdiam sejenak sebelum melanjutkan, "Juga ... Johan gak berengsek, aku yang salah."
Tangan Arthur mengepal kuat. Setelah mencoba mengatur napasnya, Arthur tidak sanggup mengutarakan apa-apa lagi. Ia merasa jika dirinya memaksa berbicara, emosinya akan membuncah seperti terakhir kali Arthur ke tempat ini.
"Hana cantik, ya?" gumam Gendhis setelah beberapa lama mereka terdiam.
"Dia kuat, sama kayak kamu dan Mama," tanggap pria itu.
Gendhis mengangguk sembari tersenyum puas, seakan menyetujui pilihan Arthur. Tak lama, seorang gadis datang dari pintu depan dan membawa dua kresek belanja. Gadis itu tampak tidak menyadari kehadiran Arthur dan setengah berteriak dari pintu, "Bu, susu ibu hamilnya yang stroberi habis, jadi aku beli yang—"
Begitu selesai menaruh sepatu ke raknya dan menghadap ke arah dalam rumah, barulah gadis itu melihat Arthur dan menghentikan perkataannya di tengah kalimat. Gadis itu hanya mengangguk pada Arthur dan berlalu ke arah dapur setelah salam kepada Gendhis. Mengingat bagaimana sikapnya terakhir kali ia ke sini dengan emosi tersulut, Arthur menyesali perbuatannya itu. Tetapi, Arthur belum tahu cara yang tepat untuk meminta maaf pada anak-anak yang dibuatnya takut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jam Tangan Milik Arthur ✔
RomanceSemenjak kematian sang ayah tahun lalu, Arthur meninggalkan sekolah doktornya di London dan berkutat dalam keseharian sebagai penerus perusahaan milik kakeknya, Riezky Syah. Didahului oleh salah satu adik kembar ke pelaminan, Arthur membuat ibunya k...