Semenjak kematian sang ayah tahun lalu, Arthur meninggalkan sekolah doktornya di London dan berkutat dalam keseharian sebagai penerus perusahaan milik kakeknya, Riezky Syah. Didahului oleh salah satu adik kembar ke pelaminan, Arthur membuat ibunya k...
"Is it insensitive for me to say, 'Get your shit together, so I can love you?'"
Renegade - Big Red Machine ft. Taylor Swift
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Multiple sclerosis?" tanya Arthur pada Bara.
Bara mengangguk. Mata yang lelah itu melirik ke luar gorden tempat Dena sedang berbicara dengan dokter. Ryu di luar IGD sedang menenangkan Hana yang terus menangis sepanjang perjalanan dan sewaktu Dena keluar dari kubik yang tertutup gorden, Bara bercerita bahwa ia sudah tahu penyakitnya sejak lama. "Hana dan Ryu gak tahu, Dena pun baru tahu setelah Hana menikah."
"Kenapa Ayah gak bilang?"
Pria di depan Arthur tidak menjawab untuk beberapa lama, matanya masih tidak beranjak dari Dena. Kemudian Bara berkata, "Gimana caranya kasih tahu keluarga kamu kalau sebagian harta mungkin harus dijual untuk pengobatan, check up rutin, terapi? Lebih baik begini."
"Maaf kalau saya lancang, tapi Ayah kembali ke keluarga setelah tahu keadaan Ayah semakin parah, itu lebih buruk." Arthur tidak habis pikir. Ia sempat bertanya-tanya dari mana harga diri tinggi milik Hana berasal. Ternyata, meski tidak menyukai ayahnya, Hana tidak bisa memilih sifat mana yang diturunkan. Ayah Hana hanya tertawa kecil, tampak tidak tersinggung dengan perkataan Arthur, kemudian meminta Arthur untuk tidak memberi tahu Hana dan Ryu. Arthur tidak berjanji, meski memang tidak akan mengatakannya pada Hana karena memberitahukan hal itu bukanlah keharusan. Hal itu adalah urusan orang tua dengan anaknya.
Arthur lalu keluar dari IGD setelah Dena kembali, berdalih ingin membeli minum. Namun, Arthur hanya berjalan berkeliling rumah sakit yang sepi, ia masih belum ingin bertemu dengan Hana. Ketika sedang membaca poster di depan poli anak, ponsel di saku Arthur berbunyi.
Identitas penelepon yang hanya tertulis emoticon bunga itu hanya dibiarkan untuk beberapa saat. Ketika Arthur rasa panggilannya hampir mati, akhirnya Arthur memutuskan untuk mengangkat telepon. "Halo?"
"Arthur ... di mana?" suara istrinya terdengar serak dari ujung sambungan. "Aku mau bicara."
"Gak sekarang, Hana." Arthur kemudian menutup teleponnya dan kembali ke UGD. Karena sudah mendapatkan ruangan dan jarum jam rumah sakit hampir menunjukkan pukul dua belas, Arthur hendak pamit. Ia masih ada rapat dengan tim keuangan pukul delapan pagi.
"Kamu masih sanggup nyetir, Arthur. Ini sudah malam," tanya Dena yang tampaknya khawatir. Ibu mertuanya itu seperti melihat ada yang ganjil dari interaksi Arthur dan Hana, tapi menahan diri untuk bertanya. Arthur menjawab, "Gak apa-apa, Bu. Nanti kalau Ibu perlu apa-apa, telepon aja, ya."
Dena mengangguk dan Arthur pun mencium tangannya lalu pergi. Hana terlihat mengekor di belakangnya hingga mereka tiba di tempat parkir, sejak pembicaraan singkat mereka di telepon tadi, istrinya benar-benar tidak mengatakan sepatah kata pun. Suasana Bandung melewati tengah malam, sangat sepi. Tidak banyak kendaraan di sekeliling mereka, tanpa lagu mengalun, dan keadaan Hana dan Arthur membuat semua terasa sendu.