"Things can be good and I'm still not enough.
And that's why I'm terrified, having you by my side."Slow - SHY Martin
Hana menatap Arthur yang sedang memindahkan sup dari plastik ke mangkuk setelah memaksa gadis itu untuk duduk di meja makan dan tidak membantunya.
"Nangis itu butuh tenaga," ujar pria berumur tiga puluh tahun itu sembari berjalan ke dapur Hana. Terasa aneh karena Hana hanya mengangguk dan membiarkan Arthur seakan itu adalah hal yang biasa meski baru pertama kali. Mungkin mereka pernah hidup bersama di kehidupan sebelumnya, entahlah.
Arthur meletakkan mangkuk yang sudah berisi sebagian sup di depan Hana dan meletakkan yang lain di sisi seberang Hana sebelum kembali ke dapur untuk membuang bungkus-bungkus plastik yang awalnya bercecer di meja dapur. Pria itu kembali beberapa detik kemudian dengan dua buah sendok di tangan, memberikan salah satunya ke Hana. "Tiup dulu, ya. Masih panas."
Mengangguk, Hana meniupkan sup di sendoknya sebelum menyuap. Rasa segar dari asparagus dan sedikit rasa kaldu ayam dari sup yang hangat membuat Hana merasa ringan. Dia menyuapkan lagi beberapa sendok kemudian tersadar bahwa Arthur mengamatinya sedari tadi. "Arthur gak makan?" tanya Hana. Arthur mengiyakan sebelum ikut memakan supnya, meski masih memandangi gadis di seberang meja.
"Kenapa Arthur bisa di sini?" tanya Hana setelah menghabiskan setengah mangkuk dan berjalan ke dapur untuk mengisi dua gelas air mineral.
Hana melihat tangan Arthur yang memegang sendok tak bergerak di atas mangkuk untuk beberapa saat. "Saya habis nganter keponakan beli mainan, rumahnya di daerah Ujung Berung. Pulangnya lewat restoran yang kamu bilang supnya enak waktu itu, jadi kepikiran untuk bawa," ujar Arthur, tapi keningnya berkerut dan pria itu terdiam beberapa saat sebelum melanjutkan, "Saya sejak kemarin kepikiran soal kamu yang ketemu sama Gemma, gak tahu kenapa, perasaan saya gak enak."
Setelah menaruh gelas di samping mangkuk Arthur dan mangkuknya, Hana kembali duduk di kursi dan minum beberapa teguk. Perasaannya tidak nyaman untuk menyimpan rahasia dari laki-laki di depannya setelah keterbukaan Arthur tentang Gendhis. Tetapi, di sisi lain, Hana merasa perlu menenangkan emosinya terlebih dahulu. Jika dia memaksa bercerita ketika perasaannya dan keterkejutan yang masih campur aduk, Hana pikir pembicaraan seperti itu hanya akan mendatangkan masalah.
"Arthur gak apa-apa kalau saya gak langsung cerita?" Hana melihat mata Arthur yang sedang menatap balik ke arahnya. Pria itu tersenyum tipis, kemudian mengangguk. Gadis itu menghela napas, walau Arthur sudah memberinya keleluasaan—mata Arthur yang sekilas memancarkan sorot pilu—membuat Hana ingin menimbang lagi keputusannya. Mungkin Arthur kecewa?
"Hana," Arthur yang memanggil namanya membuat Hana kembali ke realita. Hana bergumam menandakan dia mendengarkan. "Tadi, sewaktu di mall, ada pameran acara pernikahan. Saya tahu saya belum minta restu ke Ayah kamu, tapi ...."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jam Tangan Milik Arthur ✔
RomanceSemenjak kematian sang ayah tahun lalu, Arthur meninggalkan sekolah doktornya di London dan berkutat dalam keseharian sebagai penerus perusahaan milik kakeknya, Riezky Syah. Didahului oleh salah satu adik kembar ke pelaminan, Arthur membuat ibunya k...