Riuh Jiwa Sekitar - Bagian 1

12.5K 560 21
                                    

"Ada kiriman," ujar Vian sambil berjalan ke ruang tengah panti. Gendhis terlihat sedang bermain bersama Kou, menumpuk balok kayu menjadi bangunan. Mungkin yang terbaik yang bisa bocah umur dua tahun bangun bersama ibunya meski tidak berbentuk jelas.

Gendhis mengalihkan pandangannya sejenak dari Kou untuk menerima paket yang diulurkan oleh Vian. "Dari siapa?"

"Lupa tanya, ojeknya cuma bilang tertuju buat siapa." Vian tertawa kecil saat Gendhis menatapnya dengan tatapan tidak suka. Sudah beberapa kali Gendhis mengingatkan Vian mengenai kejadian seperti ini, tapi kecerobohan Vian tidak tampak akan berubah dalam waktu dekat. "Dokumen gitu kayaknya."

"Ini, kan, map. Mana mungkin isinya kue?" tanya Gendhis dengan sarkastik. Vian menatap Gendhis dengan murung, lalu mendekati Kou dan duduk di samping bocah yang kemudian memanggilnya 'Pa-pa'. Ia berbisik, "Mama kamu kejam banget, Nak."

Gendhis menggelengkan kepalanya menatap kelakuan Vian yang mengadu ke anak umur dua tahun seakan hal itu bisa membuat Kou membelanya. Kemudian Gendhis tertawa saat Kou melempar balok batang kecil ke hidung Vian. "Sukurin," komentar Gendhis sebelum membuka map yang tersegel lem sementara Vian mengaduh.

Map itu cukup besar, berukuran kertas folio. Setelah dibuka, Gendhis melihat dua rangkap kertas HVS yang disatukan dengan staples. Namun, ada satu lembar benda yang mencuat, berbeda karena tidak terbuat dari HVS. Sebuah amplop berwarna biru dengan tulisan tangan 'Untuk Gendhis dan Vian' ditulis dengan tinta hitam. Gendhis mengeluarkan isi amplop, sebuah surat yang ditulis tangan oleh pengirim.

Gendhis dan Vian,

Aku harap kalian bahagia, di mana pun dan kapan pun kalian berada ketika membaca surat ini.

Terima kasih karena telah mengizinkan aku menuliskan kisah kalian. Demi yang terbaik atau yang terburuk, ini yang orang-orang lihat. Jika tidak ingin membaca komentar-komentar ini, kalian bisa membuangnya. Jika iya, aku ingin minta maaf terlebih dulu seandainya kalian tercermin buruk dalam kisah Hana dan Arthur.

Meski kalian sudah setuju dengan apa yang aku tulis dan kemudian tidak setuju dengan opini para pembaca, aku hanya bisa mengontrol apa yang aku tulis, bukan impresi setiap orang yang membacanya.

Sekali lagi, maaf.

Mee

Gendhis menggenggam surat itu dengan sedikit lebih kuat, dengan wajah yang di ambang termenung dan terkejut, Vian sendiri menatap kekasihnya dengan khawatir. Vian memiliki gambaran siapa orang aneh yang mengirimkan surat padahal di dekade ini, tapi rasa penasaran yang ingin dituntaskan membuat Vian bertanya, "Apa isinya?"

"Aku gak mau kamu baca, tapi ini hak kamu." Tangan Gendhis mengulurkan surat yang dibacanya untuk Vian. Pria itu terdiam dengan bibir yang bergerak dalam diam, terlihat serius membaca isi kertas yang digenggam.

"Kita gak perlu lihat ini." Mata Vian terangkat ke arah Gendhis yang tersenyum sedih setelah wanita di hadapannya mengatakan itu. Kini map sudah berada di lantai dan di tangan Gendhis tersisa dua rangkap kertas yang tidak begitu tebal. Vian mengambil kertas-kertas itu dari tangan Gendhis, ia tahu di balik kover yang hanya berisi nama mereka bertuliskan kata-kata yang tidak mengenakkan untuk dibaca. Terutama tulisan-tulisan di balik nama Vian.

Vian mengangguk ketika Gendhis menatapnya dengan memohon dan memilih meraih map untuk memasukkan kembali kertas-kertas tadi. Ia akan membacanya, mungkin tidak sekarang, entah esok, atau lima tahun lagi. Ketika Gendhis pulih dari luka, mungkin Vian akan siap.

Setelah menaruh kertas-kertas itu di tas kerjanya untuk dibawa pulang agar Gendhis tidak tergoda untuk membacanya, ada seutas perasaan lega. Namun, saat Vian kembali, Gendhis tampak sedang memikirkan sesuatu.

"Kenapa?"

Gendhis tersadarkan dari lamunannya oleh pertanyaan Vian, lalu mulai membantu Kou kembali memainkan balok kayu. Bibirnya kemudian mulai tergerak pelan, berucap, "Kepikiran Hana dan Arthur. Apa mereka dapat surat dari Mee juga?"

Jam Tangan Milik Arthur ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang