"Something inside of me is telling me to 'go'.
I've been waiting to tell you so."It's Always The Little Things - Guo Ding ft. Rachel Yamagata
Hana menyeret langkahnya keluar dari lift. Empat bulan lalu terakhir kali dia menginjakkan kaki di sini terasa seperti bertahun-tahun lalu. Semua terasa berbeda meski secara fisik tidak ada yang berubah dari lorong apartemen itu. Tidak sadar akan apa yang dilakukannya, Hana melangkah ke pintu apartemen Vian meski sudah berjanji pada Ryu untuk tidak bertemu lagi dengan Vian.
Apa yang akan terjadi dengan aku dan Vian setelah ini?
"Kita gak akan kenapa-kenapa, masa depan gak ada yang tahu. Jadi, jalanin aja."
Kalimat yang dikatakan Vian sewaktu Hana menceritakan keadaan orang tuanya tiba-tiba muncul di benak ketika Hana baru saja akan mengetuk pintu. Hana ingat Vian menggenggam tangannya siang itu, di antara cangkir kopi yang sudah kosong dan piring yang hanya tersisa saus. Saat itu rasanya benar, cahaya matahari yang menerpa rambut Vian yang berwarna cokelat terang, sorot mata Vian yang begitu hangat, dan genggaman tangan yang Hana percayai akan ketulusannya.
Selalu hal kecil seperti itu mengenai Vian yang Hana ingat.
Hana mendengar derap kaki Vian, bagaimana suara pria itu menyebut namanya. Bagaimana matanya membulat kaget dan mempersilakan Hana masuk ke apartemen Vian. Sebelum duduk di kursi, mata Hana menangkap benda di dekat jendela ruang tengah, di samping lemari buku, foto mereka masih terpajang rapi dalam bingkai. Foto sewaktu firma mereka mengadakan tur ke Bali dan Vian mencuri kesempatan untuk mengajak Hana berfoto bersama meski hampir semua orang yang mengenal Hana tahu, dia tidak suka difoto.
Mengingat rasa senang yang membuncah ketika Vian tersenyum lebar hampir seperti anak kecil memandangi hasil foto, lalu berpaling ke arah Hana dan bergumam, "Cantik."
Mata Hana seakan disengat ketika mengulang memori itu dalam kepalanya. Dadanya sakit dan tenggorokannya seperti tersumbat gulungan kain.
"Hana?"
Suara Vian di sisi lain meja tamu mau tidak mau membuat Hana menatapnya beserta air mata yang hampir tumpah. "Aku gak cukup?"
Satu pertanyaan menggantung di udara untuk beberapa saat. Vian hanya tampak khawatir dan sedikit memajukan tubuhnya yang terduduk di sofa. "Cukup? Aku gak ngerti, Hana."
"Apa aku gak cukup sampai kamu harus tidur sama perempuan lain?" ujar Hana tanpa nada dengan suara yang jika sedikit lebih pelan cukup untuk menjadi bisikan. Hana menelan kembali tangisan dan air mata yang hampir berada di ujung bibir.
Bersamaan dengan kata-kata itu, jantung Hana berdebar sangat kencang, cukup membuat keplanya pening. Dia hampir saja akan berdiri dan berlari ke arah pintu jika tidak harus menyelesaikan hal ini. Untuk Arthur, untuk Vian, dan juga untuk dirinya, semua harus berakhir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jam Tangan Milik Arthur ✔
Storie d'amoreSemenjak kematian sang ayah tahun lalu, Arthur meninggalkan sekolah doktornya di London dan berkutat dalam keseharian sebagai penerus perusahaan milik kakeknya, Riezky Syah. Didahului oleh salah satu adik kembar ke pelaminan, Arthur membuat ibunya k...