Not Happy to Go Home

6.9K 366 10
                                    

Waktu senantiasa terus bergulir. Mengantarkan para pengembaranya melewati fase demi fase dalam hidup mereka. Ramadhan sebentar lagi akan meninggalkan para perindunya. Digantikan dengan hari istimewa yang ditunggu-tunggu oleh semua umat muslim. Idul Fitri.

Libur panjang telah tiba. Seperti de javu, Aina kembali dihadapkan pada berbagai persiapan menjelang kepulangannya hari ini. Sebenarnya itu sudah menjadi rutinitas yang selalu dia jalani dalam kurang lebih sembilan tahun terakhir sejak dia masih kuliah dulu.

Namun, kepulangannya kali ini berbeda dengan kepulangannya di tahun-tahun sebelumnya, atau bahkan kepulangannya terakhir kali saat adiknya menikah kemarin.

Jika biasanya saat akan pulang dia merasa bahagia dan antusias, kali ini dia merasa malas, tidak bersemangat dan sedikit kesal. Bagaimana Aina tidak kesal mengingat setelah lebaran akan ada pertemuan keluarga untuk membahas pernikahannya dengan laki-laki yang bahkan tidak dikenalnya itu. Pernikahan yang tidak diinginkannya.

Senyum teduh sang Bunda menyambut kehadiran Aina di halaman rumah. Fariz--adik laki-lakinya segera menghampiri dan membantunya membawa beberapa tas berisi oleh-oleh masuk kedalam rumah. Diciumnya takzim tangan sang Bunda yang dibalas dengan pelukan hangat dari bundanya. Kemudian, Aina masuk mencari ayahnya. Selain ingin menyalami sang ayah, dia juga ingin menanyakan pertanyaan yang menggangu pikirannya selama sebulan terakhir.

"Ayah, benarkah ayah menerima lamaran laki-laki itu? Tanpa bicara dulu denganku?" Aina langsung menodongkan pertanyaan itu kepada sang ayah.

"Ayah sudah memikirkannya sebelum memutuskan untuk menerima lamaran anak teman ayah itu. Dan ayah yakin ini adalah keputusan yang terbaik." Ayahnya menjawab dengan tenang.

"Tapi, seharusnya ayah menanyakan dulu padaku, apakah aku mau atau tidak."

"Ayah sangat tau jawabannya jika menanyaimu lebih dulu. Kamu pasti akan langsung menolak tanpa berfikir."

"Karena aku memang belum ingin menikah, Yah. Jika nanti aku sudah siap, aku pasti akan menikah!" Aina mulai tersulut emosi. Dia merasa kecewa kepada ayahnya yang mengambil keputusan sepihak.

"Kapan? Kapan kamu akan siap menikah? Pikirkan usiamu. Pikirkan juga usia ayah. Jika kamu terus menerus menunda, ayah tidak yakin masih berada di dunia ini untuk menikahkanmu dengan laki-laki pilihanmu." Jawaban sang ayah membuat Aina menunduk. Seperti dihantam sebuah batu besar, jawaban ayahnya membuatnya tersadar.

Hening menyelimuti ruangan itu selama beberapa saat karena Aina telah kehilangan kata-katanya.

Sang bunda yang sedari tadi hanya diam mendengarkan perdebatan suami dan anak sulungnya, kini mulai membuka suara.

"Sudah, sudah. Aina, sebaiknya kamu istirahat dulu. Tidak baik berdiskusi dalam keadaan tubuh lelah. Nanti kita lanjutkan lagi pembahasannya jika kamu sudah tidak lelah," Ucap sang bunda sambil menyentuh bahu Aina pelan.

"Sekarang masuklah ke kamarmu. Istirahat," Lanjut bundanya seraya menuntunnya memasuki kamar. Aina menurut.

Setelah menutup pintu kamarnya dari dalam, Aina merebahkan diri di tempat tidurnya sambil memejamkan mata. Menahan tangis yang sebentar lagi akan meledak. Digigitnya bibir bawahnya kuat-kuat untuk meredam isakan yang mulai terdengar.

Aku benar-benar tidak ingin menikah. Aku tidak ingin menikah. Rintihnya dalam hati di tengah isakan yang semakin menjadi.

***

Jangan Sentuh Saya, Dokter! [PINDAH KE GOODNOVEL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang