Trauma

8K 369 9
                                    

Dipta sedang termenung di kafetaria rumah sakit dengan tangan memainkan sendok di piring saat seseorang duduk di hadapannya. Siapa lagi kalau bukan Yudi.

"Kenapa ngelamun, Bro? Ada masalah lagi?" tanyanya seraya meletakkan piring di meja. Tangannya meraih sendok dan mulai menyuapkan makanan ke mulut.

Dipta diam, terlihat berpikir. Menimbang-nimbang apakah dia harus menceritakan masalahnya kepada Yudi atau tidak.

"Yud," panggilnya setelah hening beberapa saat. Yudi menggumam karena mulutnya masih penuh dengan makanan.

Dipta meletakkan sendok, melipat tangan di meja lalu berucap, "Apa yang kau lakukan jika bertemu dengan wanita korban perkosaan?"

Seketika aktivitas Yudi terhenti. Tangannya melayang dengan sendok tepat di depan mulut yang menganga. Dia berdeham pelan. Diletakkannya kembali sendok itu sebelum menjawab dengan ekspresi serius.

"Kenapa tanya sama gue? Bukannya lo lebih berpengalaman menangani pasien trauma pasca pemerkosaan?"

Dipta mengangguk. Benar yang dikatakan Yudi. Dia yang seorang dokter spesialis psikosomatik tentu lebih sering menangani pasien trauma karena kekerasan seksual atau semacamnya ketimbang Yudi yang hanya dokter umum. Namun, karena ini menyangkut Aina, baginya terasa lebih sulit. Dia tidak tahu harus melakukan apa.

"Memang benar. Aku hanya ingin mendengar pendapatmu saja," jawabnya.

Alih-alih menjawab, Yudi justru balik bertanya. "Apa perempuan itu adalah Aina?" Dipta menggumam samar, sedangkan Yudi mengangguk-angguk dramatis.

"Jadi itu alasan Aina nggak mau nikah?" PTSD?" Sekali lagi Dipta bergumam sebagai jawaban.

PTSD (Post Traumatic-Stress Disorder) adalah gangguan yang ditandai dengan kegagalan untuk pulih setelah mengalami atau menyaksikan peristiwa yang mengerikan, seperti perang, kecelakaan, bencana alam, perundungan, maupun kekerasan seksual seperti yang dialami Aina.

Kondisi ini bisa berlangsung berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, dengan pemicu yang dapat membawa kembali kenangan trauma disertai dengan reaksi emosional dan fisik yang intens.

Beberapa gejalanya adalah mimpi buruk yang berkelanjutan, perubahan emosi, serta selalu menghindari segala sesuatu yang berhubungan dengan traumanya.

Dan setelah mendengar pengakuan Aina, pikiran Dipta seolah kembali berputar mengingat segala hal tentang wanita itu selama ini. Dia bilang tidak mau menikah, sudah tidak perawan, tidak mau disentuh, dan hampir setiap malam Dipta selalu mendengar Aina mengigau karena mimpi buruk. Semua perilaku itu jelas menunjukkan bahwa dia memiliki ketakutan pada segala hal yang berbau seksual. Bodoh sekali Dipta tidak menyadari itu selama ini.

"Menurut gue, lo lebih ngerti apa yang harus dilakukan untuk mengobati stress pasca trauma itu. Ajak Aina bicara dari hati ke hati. Buat dia senyaman mungkin supaya bisa meluapkan semua perasaannya ke elo. Dukungan dari orang terdekat adalah hal paling penting untuk mengobati trauma. Dan orang terdekatnya sekarang ya elo." Yudi menjelaskan sambil menepuk pundak Dipta beberapa kali.

Dipta mengangguk mencerna ucapan sahabatnya. Yudi benar. Saat ini, dukungan dari Dipta lah yang dibutuhkan Aina. Setelah memendam rasa sakitnya bertahun-tahun, untuk pertama kalinya Aina menceritakan kenangan menyakitkan itu pada orang lain, pada Dipta. Jadi sudah seharusnya Dipta membantunya terlepas dari mimpi buruk mengerikan yang menghantuinya.

"Baiklah. Terimakasih," ujar Dipta tulus sambil tersenyum lalu melangkah meninggalkan kafetaria.

Samar-samar masih dia dengar suara Yudi berseru, "Good luck, Brother!"

Jangan Sentuh Saya, Dokter! [PINDAH KE GOODNOVEL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang