Seven Months

3.5K 212 19
                                    

Hari Sabtu tiba. Aina keluar dari kamar mengenakan gamis putih berhias manik-manik di bagian dada dan mutiara di bagian pinggang. Jilbab putihnya yang panjang tergerai, melambai-lambai mengikuti gerakan tubuhnya. Senyum senantiasa menghiasi wajah. Tak ada gurat sedih ataupun kecewa, Aina terlihat baik-baik saja. Dia terlihat sangat bahagia.

Pagi ini, Aina bersama keluarganya sedang menyiapkan berbagai hal untuk rangkaian prosesi Tingkeban —tujuh bulanan— yang diselenggarakan pukul sepuluh nanti. Halaman rumah yang akan dijadikan tempat dilaksanakannya rangkaian acara itu sudah dihias sejak kemarin sore. Sekarang mereka hanya sedang memeriksa perlengkapan yang lain sudah siap atau belum.

Aina membantu bundanya menyiapkan sarapan untuk para rewang, dibantu buliknya dan juga Iva. Sementara para laki-laki sedang sibuk membenahi area samping rumah. Membuat bilik dari papan kayu dan jarik, tempat Aina akan berganti baju nanti setelah siraman.

Acara tujuh bulanan di tempat tinggal Aina memang selalu ramai. Tidak seperti acara empat bulanan yang hanya syukuran biasa, di bulan ketujuh ini banyak hal yang harus dilakukan sesuai adat Jawa, seperti Siraman, pecah telur, brojolan, pecah kelapa, ganti busana, angreman, hingga dodol rujak. Nantinya, Aina akan melaksanakan itu semua ... sendirian, tanpa Dipta.

Matahari semakin merangkak naik. Langit nampak cerah dengan awan-awan kecil putih yang mengarak mengelilinginya. Pukul delapan pagi, orang-orang yang rewang dari semalam dipanggil untuk berkumpul di ruang tamu dan makan bersama. Nampan-nampan berisi makanan yang Aina bawa tertata rapi di meja.

"Nduk, kamu siap-siap saja, sana. Sudah siang." Bunda menepuk bahu Aina lembut.

Aina mengangguk sekilas, kemudian mengikuti perintah bundanya, kembali ke kamar. Rangkaian bunga melati yang akan dijadikannya baju untuk siraman sudah siap, tergelar di ranjang. Aina menatap bunga-bunga nan wangi itu dengan mata yang perlahan mengembun. Senyum yang sedari tadi tak pernah lepas di wajahnya kini sirna.

Aina memang begitu. Dia tak pernah memperlihatkan apa yang dia rasakan kepada orang lain. Seberapa besar masalah yang sedang dia hadapi, tak pernah sekalipun dia tunjukkan kepada orang lain. Senyumnya selalu dia gunakan untuk menutupi semua kesedihannya, lukanya. Namun, saat tak ada orang lain, barulah semua rasa sakitnya dia tumpahkan dalam tangisan.

"Mbak, bisa keluar sebentar? Ada tamu yang menunggu di luar." Suara Iva terdengar dari balik pintu.

Aina mengusap pipinya yang basah. "Siapa?"

"Keluar saja dulu," sahut Iva. Membuat Aina mengernyit.

Segera dia mengambil minum di meja rias untuk menenangkan dirinya, kemudian keluar dari kamar. Menemui tamu yang entah siapa itu.

//

Pukul empat dini hari, Dipta sudah sibuk dengan persiapan untuk pulang ke rumah mertuanya —atau mungkin sekarang mantan mertua. Tadi malam, mamanya kembali menelepon untuk mengingatkan bahwa Dipta harus datang di acara tujuh bulanan itu. Rencananya, acara itu akan menggunakan adat Jawa, yang mana itu tandanya kehadiran ayah dari calon bayi itu sangat dibutuhkan.

Dipta memasukkan barang-barang yang mamanya minta ke dalam bagasi. Mereka janjian bertemu di sana nanti. Setelah sholat Subuh, Dipta memanaskan mobilnya dan bersiap untuk berangkat. Baru saja akan men-starter mobil, dering ponselnya menginterupsi.

"Assalamualaikum, Yud," ucapnya setelah menggeser tombol hijau.

"Waalaikumussalaam, My Brother. Acara tujuh bulanan Aina hari ini, kan?"

"Ya, kenapa?"

"Lu udah berangkat?"

"Belum. Kenapa?" Dipta mengerutkan kening.

Jangan Sentuh Saya, Dokter! [PINDAH KE GOODNOVEL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang