Give Up or Lose?

8.1K 336 9
                                    

Aina baru saja memarkirkan sepeda motornya di garasi saat tanpa sengaja ekor matanya menangkap hal yang tidak biasa di halaman rumah. Sebuah pot guci kecil berwarna putih berisi pohon mawar yang bunga-bunganya tengah bermekaran dengan sempurna.

Kepalanya menggeleng pelan. Tanpa bertanya pun dia tau, ini pasti kelakuan suaminya. Ada-ada saja laki-laki itu.

Aina hanya melangkahkan kaki memasuki rumah yang sudah tidak dikunci tanpa menyentuh bunga itu sedikit pun. Sesampainya di kamar, dia mendapati Dipta baru saja keluar dari kamar mandi dengan rambut basah dan handuk tersampir di pundak.

"Kamu baru pulang?" Dipta bertanya, berusaha memulai percakapan. Sayangnya hanya dibalas gumaman lirih oleh Aina.

"Kamu mau makan apa malam ini? Nanti kubelikan." Lagi. Dipta kembali mengajukan pertanyaan.

Masih bungkam, Aina melepas kerudung dan duduk di depan meja rias. Menghapus sisa make up yang masih menempel di wajahnya.

"Aku belikan ayam bakar mau?"

Aina melirik dari pantulan cermin. "Kamu tau, kan, aku tidak suka apa pun yang dibakar," jawabnya ketus.

"Baiklah. Kalau begitu ... ayam goreng?" Dipta kembali memberikan pilihan setelah berfikir beberapa saat.

"Terserah," jawab Aina singkat tanpa menoleh pada Dipta.

Dengan menghela napas berat, Dipta meninggalkan kamar.

Setelah mandi dan menunaikan ibadah maghrib, Aina keluar dengan pakaian santai dan rambut yang dibiarkan tergerai. Setengah basah. Diliriknya sekilas Dipta yang sibuk mengeluarkan makanan dari kantong plastik dan memindahkannya ke piring yang menunggu di atas meja.

Dua piring nasi dan ayam goreng tersaji. Aina menarik kursi dan duduk di hadapan Dipta, mengambil piring miliknya dan memulai makan malam dalam diam. Tak sampai lima belas menit, kegiatan makan malam yang tidak menyenangkan itu selesai. Karena memang mereka hanya fokus makan tanpa berbicara sedikit pun.

Dipta meneguk air putih dalam gelasnya hingga tandas sebelum akhirnya bersuara.

"Kamu sudah lihat hadiahku?"

Aina menatap datar laki-laki di depannya. "Untuk apa melakukan itu?"

"Kamu kemarin bilang ... suka bunga, tapi tidak suka jika bunga itu dipetik. Makanya kubelikan yang masih di pohon, sekaligus dengan potnya."

Mendengar jawaban Dipta, Aina menarik napas panjang lalu mengembuskannya kuat-kuat. "Bukan itu maksudku. Kemarin bukankah sudah kubilang, jangan melakukan hal-hal seperti itu lagi. Kau tak perlu memberiku apa-apa. Jika aku ingin, aku bisa membelinya sendiri."

Hening.

Rentetan kata yang meluncur dari bibir manis Aina membuat Dipta terdiam. Tatapan tajam menusuk dari netra sebening kristal itu membuatnya bungkam. Apalagi yang bisa dia lakukan? Apakah menaklukkan hati Aina benar-benar sesulit ini?

"Aku hanya ingin memberikan sesuatu yang kamu suka," jelasnya lirih dengan kepala menunduk. Maniknya menatap tepian meja makan, tak berani menatap balik iris kecoklatan milik istrinya.

"Tak perlu melakukan hal-hal menggelikan seperti ini. Karena semua yang kamu lakukan, takkan mengubah apa pun." Setelah mengatakan itu, Aina bangkit dan meninggalkan Dipta yang termenung di meja makan.

//

Esok paginya saat hari libur, Dipta tertegun melihat Aina yang sedang berjongkok di halaman depan dengan tangan yang belepotan tanah. Dipta mengulum senyum. Ternyata ucapan wanita itu berbanding terbalik dengan perbuatannya.

"Aina, apa yang kamu lakukan?" tanya Dipta yang berdiri di depan pintu.

Aina menoleh sekilas lalu melanjutkan aktivitasnya. "Kamu tidak lihat? Aku sedang menanam pohon mawar pemberianmu."

"Kenapa ditanam? Kan sudah ada potnya?"

"Ck, pot itu terlalu kecil. Kasian. Biarkan akarnya menjelajah lebih jauh ke dalam tanah. Tidak tertahan oleh pot itu," jawab Aina sambil mengusap peluh di dahinya.

Dipta yang melihat itu akhirnya ikut berjongkok di samping Aina. "Mau kubantu?"

"Tak usah," jawab Aina singkat. "Sebentar lagi selesai."

Dipta mengedikkan bahu. "Baiklah kalau begitu."

Melihat peluh yang menggantung di pelipis Aina, tangan Dipta secara refleks terulur untuk mengelapnya. Namun, perbuatan itu membuat tubuh Aina tiba-tiba menegang. Wajahnya panik dan tangannya menjadi gemetaran.

Dia menoleh ke samping. Tatapannya menusuk tepat ke manik gelap laki-laki di sampingnya.

"Apa yang kamu lakukan? Jangan menyentuhku!" hardik Aina tajam.

Dipta terhenyak. Agak tidak menyangka dengan respon Aina yang berlebihan. Dia hanya mengusap pelipis wanita itu untuk menghapus keringatnya. Tidak lebih. Namun, mengapa responnya sampai sebegitunya?

"Maaf," lirihnya. Meski dia tidak tau apa yang salah. Dia tetap minta maaf.

Aina menghela napas panjang. "Pergilah. Jangan ganggu aku."

Dengan langkah gontai, Dipta meninggalkan halaman dan kembali masuk ke rumah.

//

Pukul lima sore Aina pulang dari mengajar bahasa Korea. Berdiri di depan pintu, merogoh saku dan mengambil kunci. Dipta pasti belum pulang jam segini. Apalagi akhir-akhir ini dia sering lembur sampai jam 10 malam.

Aina mengayunkan langkah pelan menuju lantai dua, membuka pintu kamar dan melempar tas kerjanya ke ranjang. Dia masuk ke kamar mandi untuk mencuci tangan dan kaki, lalu saat keluar, dia tercengang melihat kotak beludru merah di atas meja rias. Tadi, saat masuk kamar, benda itu luput dari penglihatannya.

Dia mendesah lirih. Pasti ini ulah Dipta lagi. Akhir-akhir ini, laki-laki itu memang sedang begitu gencar memberikan hadiah-hadiah aneh kepada Aina. Baju, kerudung, bunga, novel, boneka, sampai tiket nonton. Namun, baru kali ini Dipta memberinya perhiasan.

Tidak. Aina tidak bahagia karena diberi barang mewah ini. Justru dia semakin merasa tidak enak. Rasanya, perhiasan terlalu berlebihan. Lagipula dia bisa membelinya sendiri jika ingin.

Sejujurnya, jauh di lubuk hatinya yang terdalam, dia suka segala hal yang dilakukan Dipta untuknya. Sebagai perempuan, tentu saja dia suka diperlakukan manis seperti ini. Namun, dia hanya ingin menjaga diri. Dan menjaga hati agar tidak jatuh dan berdarah lagi. Sekuat tenaga, dia berusaha bertahan agar tidak perlu merasakan cinta yang menyakitkan lagi.

Dibukanya sesaat kotak beludru itu untuk melihat isinya. Sebuah cincin emas bermatakan rubi. Cantik. Namun, segera ditutupnya lagi kotak itu lalu diletakkannya di tempat semula.

Saat Dipta pulang malam harinya, barulah dia menyerahkan kotak itu kepada Dipta.

"Aku membeli ini untukmu, Aina," ujar Dipta seraya menyerahkan kembali kotak itu kepada Aina.

"Untuk apa? Aku tidak bisa menerima ini!"

"Kenapa?"

Aina berdecak kesal. "Aku tidak suka memakai perhiasan."

"Kalau begitu kamu bisa menyimpannya."

"Ck, sudah kubilang tidak mau, ya tidak mau. Aku tidak suka!"

"Lalu apa yang kamu suka?" potong Dipta dengan suara agak keras. Setengah membentak. "Ayolah, Aina ... aku tidak menuntutmu untuk melakukan kewajibanmu sebagai istri. Tapi setidaknya ... jadikan aku temanmu, jangan seperti ini," lanjutnya seraya menurunkan nada bicara.

Dipta yang tersadar tanpa sengaja menaikkan nada bicara buru-buru berkata lagi. "Aku lelah, baru saja pulang kerja. Maafkan aku. Bisakah kita hentikan perdebatan ini?"

Aina hanya mengangguk tanpa berkata apa pun lagi. Dia menaruh kotak berisi cincin yang diberikan oleh Dipta dalam laci di meja rias sebelum akhirnya membaringkan diri di tempat tidur. Memunggungi Dipta.

***

Jangan Sentuh Saya, Dokter! [PINDAH KE GOODNOVEL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang