The Reason

8.3K 371 9
                                    

Dipta memasuki satu persatu ruang rawat inap di bangsal Psikosomatik dengan senyum ramah dan tatapan hangat, ditemani beberapa dokter koas yang mengikutinya dengan buku kecil dan pena di tangan masing-masing. Sesekali dia anggukkan kepala untuk merespon beberapa orang yang menyapanya. Dia berjalan tegap dengan tangan dimasukkan ke saku jubah putih yang bagian bawahnya melambai mengikuti gerakan langkahnya.

Hari ini jadwalnya visit, memeriksa perkembangan kondisi pasien-pasiennya pengidap gangguan psikosomatik.

Gangguan psikosomatik adalah keluhan fisik yang timbul atau dipengaruhi oleh pikiran atau emosi, bukannya oleh alasan fisik yang jelas, seperti luka atau infeksi. Biasanya pemicunya adalah faktor psikis seperti kecemasan, stress, takut ataupun depresi. Gangguan psikosomatik juga bisa berupa memburuknya penyakit fisik yang sudah ada akibat pengaruh kondisi psikis, emosi, atau pikiran.

Sebagian besar pasiennya memang tidak di rawat di rumah sakit, melainkan hanya rawat jalan dengan psikoterapi dan bantuan obat-obatan yang rutin diminum. Namun, beberapa pasien yang juga memiliki keluhan fisik seperti jantung atau hipertensi harus dirawat inap dan mendapat penanganan dari dokter organik, selain dokter psikosomatik.

Dipta menanyai keluhan setiap pasien, lalu menyarankan penanganan serta obat yang tepat kepada perawat. Dengan sigap para dokter koas mencatat segala ilmu yang Dipta berikan secara langsung.

Selesai visit, dia kembali ke ruangannya untuk melakukan konsultasi dengan beberapa pasien yang dijadwalkan hari ini.

Pasien terakhir keluar dari ruangannya tepat saat jam makan siang tiba. Dia sedang membereskan beberapa catatan di meja saat terdengar ketukan pintu.

"Masuk," ucapnya setengah berteriak.

Pintu terbuka, memperlihatkan wajah tampan dengan senyum menjengkelkan milik Yudi.

"Apa lagi sekarang, Yudi?" tanyanya menyindir.

"Ngajak lo makan siang. Karena kalau dokter cewek yang ngajak pasti lo tolak." Yudi menjawab seraya meneruskan langkah menghampiri Dipta. Masih dengan senyum menjengkelkan tentu saja.

"Tidak." Dipta menggeleng pelan. "Aku mau makan siang di luar bersama Aina," lanjutnya sambil melepas jubah dokter dan diganti dengan jas yang menyampir di senderan kursi.

"Wow, apa hubungan kalian sudah membaik?"

Dipta membalas singkat sebelum melangkahkan kaki keluar dari ruangan, "Semoga saja."

//

Aina, kamu dimana? Aku sedang dalam perjalanan ke sekolah.

Netra Aina membulat membaca pesan teks dari suaminya. Dia sedang membereskan buku tugas para siswanya di meja saat terdengar notifikasi.

Mau apa kesini? Balasnya sebelum memasukkan ponsel ke saku dan meraih tumpukan buku di meja kemudian meninggalkan kelas.

Dia baru saja tiba di ruang guru saat ponselnya kembali berbunyi. Diletakannya tumpukan buku itu ke atas meja sebelum mengeluarkan ponsel dari saku dan membuka chat Dipta.

Mengajakmu makan siang. Balasan Dipta membuatnya membuang nafas kasar. Dia merasa kesal karena perlakuan Dipta semakin lama semakin mengganggu.

Sudah beberapa hari ini laki-laki itu selalu saja mencari alasan untuk mengajaknya pergi. Setelah 'percobaan pemerkosaan' yang dilakukan Dipta malam itu, sikap Aina memang kembali dingin kepada Dipta. Dia kembali berbicara formal dan mengenakan pakaian tertutup di rumah, bahkan di kamar. Meskipun dia sudah berkata bahwa dia memaafkan Dipta, namun sikapnya berbanding terbalik. Dia seakan sedang berusaha menjauh sejauh-jauhnya dari Dipta.

Jangan Sentuh Saya, Dokter! [PINDAH KE GOODNOVEL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang