Therapy

7.6K 381 6
                                    

Aina mengamati bangunan megah serba putih di depannya dengan takjub. Cahaya matahari memantul dari mobil-mobil yang berjejer rapi di halaman parkir berpaving hexagonal yang diinjaknya. Daun kering berguguran dari pohon di pinggir jalan dan jatuh terhempas di area parkir. Beberapa tumbuhan hias dengan pot gerabah coklat besar diletakkan di sudut-sudut teras, memberi kesan asri dan nyaman.

Hiruk pikuk orang berlalu lalang silih berganti di pintu masuk. Ada yang lewat pintu UGD di pojok kiri, namun lebih banyak yang melewati pintu kaca besar yang terbuka lebar di bagian tengah. Suasana di dalam begitu ramai. Penuh dengan orang-orang yang datang untuk berikhtiar, mengharap kesembuhan dari macam-macam penyakit yang diidapnya. Seperti Aina.

Hari ini adalah hari pertamanya melakukan terapi. Meskipun dokternya adalah suaminya sendiri, namun itu sama sekali tidak mengurangi kegugupannya saat ini. Aina segera melangkah menuju ruang praktik suaminya di bangsal Psikosomatik tanpa melakukan pendaftaran karena Dipta sendiri yang telah menjadwalkan terapi untuknya.

Setibanya di depan pintu putih dengan papan bertuliskan nama serta gelar dokter Dipta di atasnya, Aina mengetuk pintu dan segera memutar kenop saat terdengar suara Dipta mempersilahkan dia masuk.

"Aina, kamu sudah datang. Duduk dulu." Dipta menyapa masih dengan duduk di balik meja kerja, sibuk merapikan laporan pasien yang baru saja diberikan perawat untuknya.

Aina terpaku di depan pintu, agak tertegun melihat Dipta. Biasanya dia selalu melihat Dipta dengan kemeja dan jas formal untuk bekerja atau kaos santai saat berada di rumah. Namun kali ini, dia melihat Dipta mengenakan jubah dokter sambil serius berkutat dengan berkas di tangannya. Wajahnya yang memang tampan semakin terlihat menawan. Itu membuat Aina merasakan sesuatu yang lain, seperti desiran aneh di dadanya.

"Kenapa berdiri di sana? Ayo duduk." Aina mengerjap saat suara bariton Dipta tertangkap pendengarannya. Tatapan mereka bertemu, membuat desir halus yang Aina rasakan berubah menjadi getaran yang memicu jantungnya memompa darah lebih cepat.

Segera dia palingkan wajah ke arah sofa di sebelah kiri meja Dipta untuk menenangkan detak jantungnya yang berkejar-kejaran.

Dipta bangkit, lalu berjalan ke arah sofa yang biasa digunakan untuk sesi konsultasi.

"Duduklah," ucapnya sambil ikut mendudukkan diri di sofa tunggal samping Aina. Ditatapnya wajah Aina lekat-lekat.

"Kamu deg-degan?" pertanyaan Dipta sukses membuat Aina merona. Apa detak jantungnya terdengar sampai ke telinga Dipta?

Dia menggeleng cepat, berusaha memasang wajah sedatar mungkin. Meskipun rasanya mustahil karena wajahnya begitu merah saat ini.

"Syukurlah. Kupikir kamu akan gugup karena ini konsultasi pertama kita di rumah sakit," ucap Dipta tenang.

Seketika manik Aina melebar. Lalu merutuki pikirannya yang tiba-tiba kacau seperti ini. Jadi maksud dari 'deg-degan' itu karena ...? Muka Aina semakin merah padam sekarang.

"Baik, kita mulai ya." Suara Dipta menyadarkan Aina dari lamunan.

"Jadi terapi yang akan kamu jalani sekarang bernama Eye Movement Desentisization and Reprocessing atau yang biasa disingkat EMDR. Terapi ini adalah yang paling banyak digunakan dan dinilai paling efektif untuk membantu mengatasi Post Traumatic-Stress Disorder. Terapi ini memiliki 8 fase yang terbagi menjadi 12 sesi. Jadi kamu perlu beberapa kali datang ke rumah sakit untuk menyelesaikan terapi ini, oke?" jelasnya.

Aina mengangguk, lalu melanjutkan mendengarkan penjelasan Dipta lagi.

"Fase pertama, history taking. Menggali informasi tentang seberapa parah trauma yang kamu miliki. Kita sudah melakukan itu di rumah. Jadi kita lanjutkan ke fase berikutnya, preparation. Sekarang, saya akan menjelas--"

"Saya?" potong Aina.

Dipta menghela nafas. "Kamu adalah pasienku sekarang," jawabnya yang membuat Aina ber-oh ria.

"Kita lanjutkan. Saya akan menjelaskan beberapa teknik yang bisa kamu lakukan untuk menenangkan diri saat trauma itu kembali muncul. Pertama pernapasan. Coba kamu tarik napas dalam-dalam, lalu hembuskan perlahan melalui mulut. Lakukan begitu beberapa kali," perintahnya.

Aina menarik nafas lalu menghembuskannya pelan-pelan lewat mulut, sesuai instruksi Dipta.

"Bagaimana rasanya?" tanya Dipta setelah Aina selesai melakukan apa yang dia suruh.

"Lebih tenang." Dipta mengangguk mendengar jawaban Aina.

"Teknik lain yaitu butterfly hug. Caranya kamu silangkan telapak tangan dan satukan ibu jari, membentuk seperti sayap. Taruh di depan dada, lalu tepuk bergantian kiri kanan. Bisa juga dengan menyilangkan tangan di bahu, lalu tepuk bahumu bergantian kiri-kanan, kiri-kanan. Seperti itu. Coba." Dipta kembali memberikan instruksi yang langsung dipraktikkan oleh Aina.

"Bagaimana? Lebih tenang kan?" Kini Aina yang mengangguk.

"Setelah itu kita masuk ke fase assessment. Ini mungkin akan sedikit mengganggu di awal. Kamu siapa?" Aina kembali mengangguk tanpa berkata.

"Sekarang saya minta, kamu bayangkan kejadian yang membuatmu trauma itu. Fokus dan pikirkan detail kejadian itu. Bayangkan gambaran apa yang paling mengganggu, lalu emosi apa yang muncul saat kamu mengingat hal itu."

Dan Aina melakukannya. Mengingat setiap detik peristiwa yang bahkan sampai sekarang masih sering mengganggunya dalam mimpi.

Sedangkan Dipta mengobservasi perubahan perilaku fisik Aina. Bibirnya bergetar, sedangkan tangannya mengepal kuat. Menahan air mata yang hampir lolos.

"Jika dipresentasikan, berapa derajat ketidaknyamanannya? 0 untuk yang paling tidak mengganggu, sedangkan 10 untuk yang paling mengganggu." Dipta bertanya.

"10," jawab Aina dengan suara gemetar. Ingin rasanya Dipta peluk tubuh wanita di depannya, namun tidak bisa. Mereka sedang dalam sesi terapi.

"Baiklah. Kita masuk ke fase inti. Bilateral stimulation. Tetap fokus pada bayangan yang ada dipikiranmu sekarang, tapi buka matamu, lihat gerakan jari saya." Dipta mengangkat dua jarinya dan mulai menggerakkan secara horizontal ke kiri dan kanan secara perlahan berulang kali.

Setelah menggerakkan jari selama sekitar 30 detik, Dipta menurunkan jarinya dan bertanya lagi. "Bagaimana sekarang? Berapa derajat tingkat mengganggunya?"

"Sekitar 9 atau 8," jawab Aina. Suaranya sudah tidak lagi bergetar namun tatapannya masih penuh ketakutan.

"Baik. Kita lakukan lagi stimulasi bilateralnya, tapi kali ini dengan ketukan. Kembali bayangkan peristiwa itu, namun buatlah gambaran seolah kamu sedang menonton adegan itu di layar." Setelah mengatakan itu, Dipta mulai membuat ketukan di meja dengan ritme pelan dan teratur. Tap. Tap. Tap. Tap.

"Ikuti ketukan ini, namun pikiran tetap fokus pada layar. Apapun yang terjadi di sana, biarlah terjadi. Lepaskan apapun yang mengganggu. Biarkan pergi. Sekarang kamu aman di sini. Lepaskan. Menjauhlah secara perlahan," ucapnya dengan jari masih sibuk mengetuk-ngetuk meja. Membuat bunyi yang konstan. Tap. Tap. Tap. Tap.

Setelah satu menit, Dipta menghentikan ketukannya dan bertanya, "Bagaimana sekarang?"

"8." Aina menjawab mantap. "Aku masih takut, tapi ... sudah tidak seperti tadi."

Dipta tersenyum. "Baiklah. Mungkin cukup untuk sesi pertama. Minggu depan kita akan melakukan sesi kedua, dengan hari, jam dan tempat yang sama. Oke?"

Aina mengangguk. "Terimakasih," ucapnya disertai senyuman tulus. Senyum yang belum pernah Aina tunjukkan pada Dipta sebelumnya.

Sekarang gantian jantung Dipta yang berkejar-kejaran di dalam sana. Buru-buru dia menguasai diri. "Sama-sama. Ayo, aku antar pulang."

Mereka bangkit, lalu berjalan beriringan menuju parkiran.

***

Jangan Sentuh Saya, Dokter! [PINDAH KE GOODNOVEL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang