Aina masih terpaku, pikirannya tiba-tiba kosong. Dia tidak tau harus bagaimana, tak tau harus mengatakan apa. Fakta yang baru saja dia saksikan benar-benar membuatnya tercengang.
Rekaman CCTV yang baru saja Aina lihat adalah rekaman seluruh peristiwa yang terjadi di ruangan Dipta kala itu, saat dirinya tak sengaja mendapati Dipta bermesraan dengan wanita lain di ruangannya. Rekaman dari CCTV di ruangan Dipta itu menunjukkan dengan jelas, bagaimana wanita bernama Sabrina 'menyerang' Dipta dengan tiba-tiba.
"Lalu, kenapa Mas Dipta tidak menjadikan ini sebagai bukti di persidangan kemarin?" tanya Aina, penyesalan perlahan menelusup ke hatinya.
Yudi menggeleng. "Nggak bisa. Wanita di video itu, Sabrina namanya, dia nyogok penjaga keamanan yang bertugas menjaga CCTV dan menyuruhnya menghapus rekaman itu. Untungnya Pak Budi nggak hapus rekaman itu, cuma saat Dipta minta rekamannya, Pak Budi bilang CCTV di ruangannya rusak. Aku juga baru tau kemarin saat menyelidikinya sendiri."
"Jadi wanita itu menyembunyikan rekaman ini dari Mas Dipta?"
Yudi mengangguk sebagai jawaban.
Astaga. Wanita itu benar-benar terobsesi dengan Dipta, sampai-sampai dia tega melakukan semua itu.
"Lalu, kenapa dokter melakukan ini?"
"Nyari video itu?" tanya Yudi memastikan.
Aina mengangguk.
"Aku cuma pengen bantuin sohibku. Dokter Alvin itu sahabatku. Aku kenal baik gimana dia, gimana sayangnya dia ke kamu, gimana setianya dia ke kamu. Saat aku sering main cewe, dia yang selalu mengingatkanku buat tobat dan kembali sama keluarga. Jadi, sekarang saat dia ada masalah, aku merasa sudah seharusnya membantu."
Yudi menarik napas sejenak sebelum melanjutkan dengan nada bergurau. "Lagian, capek aku liat dia kayak mayat hidup akhir-akhir ini, nggak ada yang ngurus," selorohnya disertai kekehan lirih.
Hati Aina mencelos. "Lalu sekarang saya harus bagaimana? Kami sudah terlanjur bercerai."
"Kalian bisa rujuk. Kamu masih cinta sama Dipta, kan?" tanya Yudi, yang sebenarnya sudah dia tau jawabannya.
Aina menggeleng kuat-kuat. "Tidak bisa, Dok. Kami tidak mungkin kembali."
"Loh, Kenapa? Kalian masih saling cinta, terlebih lagi anak kalian butuh orang tua yang utuh. Terus, kenapa kalian nggak bisa rujuk?" Yudi terlihat terkejut.
"Tidak bisa. Tidak bisa. Aku tidak bisa ...," gumam Aina berkali-kali seraya bangkit dan berlalu meninggalkan Yudi.
Aina kembali ke rumah dengan perasaan hampa. Bahkan jauh lebih hampa daripada saat dia menerima akta cerai dari pengacaranya. Dia merasa ... bersalah? Tidak, tidak. Dia merasa begitu bodoh.
Seharusnya dia tidak perlu buru-buru meminta cerai. Seharusnya dia menuruti ucapan orang tuanya untuk menyelesaikan masalah mereka baik-baik. Seharusnya saat itu dia mendengarkan penjelasan Dipta. Sekarang apa yang bisa dia lakukan? Kembali kepada Dipta setelah dengan sombongnya menggugat cerai lelaki itu? Tidak, tidak. Harga dirinya tidak akan sanggup menerima itu.
//
Dipta mengamati dua manusia yang menjauh dari keramaian, duduk di tepi sungai di seberang jalan yang masih bisa ditangkap kedua mata Dipta. Mereka duduk di sana beberapa saat, kemudian Aina lebih dulu meninggalkan Yudi dan melewati tempatnya duduk, masuk ke rumah.
Sementara itu, Yudi kembali menghampirinya dan duduk di samping tempat Dipta duduk, berhadapan dengan ayah Aina dan papa Dipta.
Meski dia diliputi rasa penasaran, Dipta menahan dirinya untuk tidak bertanya lebih dulu, menunggu waktu hingga mereka tinggal berdua. Barulah nanti Dipta bertanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Sentuh Saya, Dokter! [PINDAH KE GOODNOVEL]
RomantikWarning : 18+ (Beberapa part berisi konten dewasa. Bijaklah dalam memilih bacaan) SEBAGIAN BESAR PART TELAH DIHAPUS. PINDAH KE GOODNOVEL UNTUK BACA SELENGKAPNYA. * Tak pernah terlintas di benak Aina Zavira bahwa dia akan menikah, apalagi dengan laki...