Lima tahun kemudian ....
"Daffa ... bangun, Nak. Katanya mau sekolah?"
Aina berseru dari arah dapur, memanggil bocah laki-laki yang beberapa waktu lalu merengek minta sekolah. Celemek masih melekat di pinggangnya saat dia berjalan tergesa menuju satu-satunya kamar di rumah itu.
Benar saja. Di atas tempat tidur tanpa dipan itu, anaknya masih terlelap. Bergelung dengan nyaman dalam selimut beraroma parfum ibunya—vanilla rose.
Aina duduk di tepi kasur busa itu, mengelus kepala pangeran kecilnya sambil setengah mengguncang, masih berusaha membangunkan.
"Nak, bangun. Ayo, berangkat sekolah."
Bocah yang berusia belum genap lima tahun itu hanya menggeliat tanpa membuka mata. "Eugghh ... Daffa masih ngantuk, Bunda."
"Tapi sudah siang. Katanya Daffa mau sekolah?"
"Sekolah?" Bocah itu seketika membuka mata. "Daffa sekolah jam berapa, Bunda?"
"Daffa berangkat jam setengah tujuh. Sekarang jam berapa? Coba lihat di dinding, jarum pendeknya menunjuk angka berapa?"
Daffa melirik jam yang tergantung di dinding dengan mata menyipit. Lalu, saat sudah menemukan jawabannya, dia berteriak lantang. "Enam!"
"Nah, berarti sekarang sudah jam enam. Daffa harus mandi, setelah itu sarapan. Biar tidak terlambat. Ayo!" Aina mengulurkan tangan, membantu Daffa bangkit dari tempat tidur.
Bocah itu menyambut tangan Aina lalu menariknya sebagai pegangan untuk duduk.
"Ayo mandi. Handuknya diambil di belakang pintu," ujar Aina sembari menuntun Daffa turun dari tempat tidur.
Bocah itu melompat untuk menyambar handuk yang tergantung agak tinggi, setelah itu berlari ke belakang, ke arah kamar mandi.
Selagi Daffa mandi, Aina segera menyelesaikan acara masaknya, setelah itu dia juga menyiapkan pakaian untuk Daffa dan juga untuk diri sendiri. Tiga puluh menit kemudian, Daffa keluar dari kamar mandi, dilanjutkan Aina yang bergegas mandi. Dia tidak bisa mandi lama-lama, hanya lima belas menit acara mandinya selesai.
Saat Aina kembali ke kamar, anaknya sedang mengancingkan baju sekolahnya. Sebagian bagian bawah bajunya keluar dari celana. Aina berjongkok untuk membenahi baju anaknya kemudian bersiap untuk diri sendiri.
"Tasnya jangan lupa, Sayang." Aina menunjuk tas di meja kecil sudut kamar dengan dagu.
Daffa segera meraih tasnya, kemudian mengikuti bundanya yang sudah selesai memakai jilbab, keluar kamar.
Mereka sarapan terlebih dahulu. Aina juga sudah menyiapkan bekal untuk Daffa. Setelah susu di meja diminum sampai habis oleh Daffa, barulah mereka keluar meninggalkan rumah.
Aina memesan ojek online untuk mengantarnya dan Daffa ke sekolah yang sebenarnya tak terlalu jauh. TK Pertiwi yang menjadi tempat Daffa menimba ilmu sudah mulai ramai oleh para anak dan orang tuanya saat Aina dan Daffa sampai di sana.
Mereka turun dari sepeda motor, lalu melangkah memasuki gerbang.
"Bunda antar sampai sini saja, ya? Daffa sekolah yang pintar, nurut sama Bu guru." Aina mengulurkan tangan untuk dicium Daffa.
Bocah itu mengangguk sembari mengecup punggung tangan Aina. "Iya, Bunda."
"Ya sudah, Bunda berangkat ya? Assalamualaikum."
Daffa menjawab salam bundanya, lalu berlari mengikuti teman-temannya ke kelas. Setelah Daffa menghilang di balik pintu kelasnya, barulah Aina memutar langkah memasuki halaman SD tempatnya bekerja yang bersebelahan dengan TK Daffa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Sentuh Saya, Dokter! [PINDAH KE GOODNOVEL]
RomanceWarning : 18+ (Beberapa part berisi konten dewasa. Bijaklah dalam memilih bacaan) SEBAGIAN BESAR PART TELAH DIHAPUS. PINDAH KE GOODNOVEL UNTUK BACA SELENGKAPNYA. * Tak pernah terlintas di benak Aina Zavira bahwa dia akan menikah, apalagi dengan laki...