Teach and Learn

3.1K 147 0
                                    

Aina memulai paginya dengan bersemangat. Setelan yang selama beberapa minggu tergantung di lemari tak tersentuh, hari ini bisa dia kenakan kembali. Senyumnya mengembang tatkala dirinya mematut diri di depan cermin.

Dipta yang sedang memakai dasi di belakang Aina melirik wanita itu dari pantulan cermin, dan ikut tersenyum melihat wanitanya. Dia tentu senang melihat Aina bahagia seperti itu. Semoga saja keputusan yang mereka ambil adalah keputusan yang tepat.

"Ayo, sarapan dulu," ajak Dipta setelah mengenakan jasnya.

Aina melirik jam yang menggantung di dinding. Pukul enam lebih sepuluh. Astaga, sepagi ini mereka sudah rapi. Dia mengikuti langkah Dipta menuju dapur.

Mereka tidak sarapan banyak. Hanya minum kopi dan teh seperti biasa, serta makan roti dengan selai saja. Aina tidak punya banyak waktu untuk masak terlebih dahulu karena harus menyetrika pakaiannya dan Dipta pagi-pagi. Setelah itu mereka bersiap-siap. Jadi, makan roti saja sudah cukup. Jam 06.25 mereka berangkat.

Tak butuh waktu lama untuk sampai ke sekolah tempat Aina mengajar, karena jalanan pagi ini tidak macet. Kurang dari jam tujuh Dipta sudah menghentikan mobilnya di depan gerbang sekolah.

"Kamu langsung full mengajarnya?" tanya Dipta saat Aina mencium tangannya.

Wanita itu mengangguk. "Seharusnya begitu."

"Ingat, kalau kamu pusing langsung istirahat."

"Iya, Mas."

Aina turun dari mobil. Setelah Dipta menghilang dari pandangan, barulah dia melangkah masuk.

Dia melangkah dengan anggun di sepanjang koridor menuju ruang guru. Banyak mata yang mengikuti setiap langkahnya. Aina hanya tersenyum simpul. Sesekali mengangguk jika ada siswa yang menyapa, dan menjawab singkat saat salah satu siswa bertanya, "Ibu guru baru, ya?"

Sesampainya di ruang guru, Aina segera masuk dan duduk di kursi paling belakang, di sudut ruangan. Di mejanya masih bertuliskan nama guru sebelumnya. Mungkin belum sempat diganti.

Ruang guru di jam itu masih cukup sepi. Hanya ada lima guru —dua laki-laki, tiga perempuan— saat dia masuk. Mereka saling menyapa dan khusus untuk Aina, dia memperkenalkan diri kepada mereka.

"Bu Aina sebelumnya mengajar di mana?" tanya seorang guru perempuan yang duduk dua meja di depannya.

"Di SMA Islam Salahuddin Al-Ayubi, Bu."

"Oh, ya? Lalu pindah ke Jogja kenapa?"

Deg! Wajah Aina seketika pias. Dia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya, bukan?

Dia berdeham beberapa kali sebelum menjawab, "Ikut suami."

"Oh, suaminya pindah tugas, ya? Bu Mega juga keluar dari sini karena ikut suaminya yang dipindahtugaskan ke Kalimantan."

Tanpa sadar Aina menghela napas lega. Dia hanya tersenyum menimpali ucapan rekan kerjanya itu.

Seorang lelaki tua memasuki ruang guru. Dia terlihat celingukan sesaat sebelum netranya menemukan Aina dan melangkah mendekat.

"Bu Aina sudah dapat jadwalnya?" tanya pria tua itu. Aina mengangguk.

"Baiklah. Ini masih jadwal sementara. Nanti saya umumkan lagi jika sudah ada jadwal resminya," sambung Pak Waka Kurikulum.

"Baik, Pak."

Beberapa waktu kemudian, ruang guru mulai dipenuhi orang-orang. Hampir semua meja telah terisi oleh penghuninya. Mereka menyapa Aina dengan ramah, menanyakan hal-hal ringan untuk mengalirkan pembicaraan sebelum terdengar bel masuk yang membubarkan semua orang.

Jangan Sentuh Saya, Dokter! [PINDAH KE GOODNOVEL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang