Mediation

2.9K 195 17
                                    

Kamis malam, Aina duduk di ruang tamu rumah orang tuanya dengan gugup. Di sana, dia tidak sendiri. Ada ayah, bunda, serta adik perempuannya—Iva. Aina duduk di hadapan ayahnya, sementara bunda dan adiknya mengapit di masing-masing sisi. Membuatnya terlihat seperti pesakitan yang sedang menunggu vonis mati.

Meskipun Aina memasang ekspresi datar di wajahnya, namun kegugupannya tetap tak dapat disembunyikan. Di bawah meja, jemarinya saling meremas untuk menghilangkan rasa gelisah yang melanda.

Ayah dan bundanya sudah mendengar kabar bahwa Aina telah mengajukan gugatan cerai kepada Dipta. Dia sendiri yang mengatakannya. Jadwal sidangnya bahkan sudah keluar. Padahal, kedua orang tuanya sudah menyuruh Aina untuk menyelesaikan masalahnya baik-baik, berbicara dengan Dipta terlebih dahulu. Namun, entah bagaimana ceritanya, Aina justru memilih mengambil keputusan sepihak dengan menggugat cerai Dipta.

"Kamu benar-benar sudah mengajukan gugatan cerai kepada suamimu?" Ayah bertanya dengan nada datar. Tatapannya tajam menusuk.

Aina mengangguk. Dia berusaha sekuat mungkin untuk mengangkat wajah, membalas tatapan ayahnya dengan sorot mata tenang.

"Mengapa tidak bilang dulu kepada Ayah dan Bunda?" timpal sang bunda.

Ayah menyahut dengan cepat. "Bukankah bundamu sudah bilang, temuilah suamimu dan selesaikan masalahnya baik-baik. Mengapa kamu justru mengajukan gugatan tanpa bertemu suamimu lebih dulu?"

"Memangnya apa yang akan berbeda, Yah? Sebelum atau setelah Aina bertemu Mas Dipta, apa yang berbeda?"

"Aina!" geram sang ayah.

"Yah ...." Bunda mengusap punggung tangan suaminya untuk menenangkan.

"Keputusan Aina sudah bulat. Bertemu atau tidak bertemu dengan Mas Dipta, Aina yakin keputusan Aina akan tetap sama. Jadi, untuk apa bertemu dengannya jika hanya membuang-buang waktu."

Bunda mengalihkan pandangan ke arah Aina. "Aina, bukankah Bunda pernah berkata, kadangkala apa yang kita lihat tidak seperti apa yang sebenarnya terjadi."

"Tapi Aina yakin, apa yang Aina lihat adalah sebuah kebenaran." Wanita itu menghela napas, berusaha menjaga nada suara agar tidak meninggi. "Aina tidak ingin terus hidup bersama laki-laki yang berselingkuh."

"Kamu lupa apa saja yang sudah Dipta lakukan untukmu selama ini?"

"Aina ingat, Yah. Sangat ingat. Aina juga sangat berterima kasih untuk itu. Tapi bukan berarti dia berhak mengkhianati pernikahan kami, kan?"

"Kamu yakin Dipta benar-benar berselingkuh?" Ayahnya masih bersikeras.

"Aina yakin. Aina melihatnya dengan mata kepala Aina sendiri, Mas Dipta bermesraan dengan wanita di ruangannya. Itu sudah lebih dari cukup sebagai bukti kalau Mas Dipta memang berselingkuh."

Pak Sabani mengembuskan napas panjang. "Kalau memang itu sudah menjadi pilihanmu, Ayah tidak bisa berbuat apa-apa lagi."

Bunda dan Iva yang sedari tadi hanya mendengarkan ikut menghela napas berat. Mereka tidak tau mana yang benar. Mereka juga tidak bisa memutuskan hanya dengan mendengar cerita satu pihak, sedangkan mereka belum mendengar penjelasan dari Dipta. Mengetahui bagaimana Dipta memperjuangkan Aina selama ini, agaknya mustahil jika laki-laki itu berani melakukan hal hina seperti perselingkuhan. Namun, melihat Aina bersikukuh dengan pendapatnya, tidak mungkin kan wanita itu berbohong? Untuk apa?

Akhirnya mereka mengiyakan keputusan Aina. Walau bagaimanapun, yang akan menjalani rumah tangga adalah Aina dan Dipta. Mereka hanya menyaksikan dari luar, sedangkan di dalamnya tidak ada yang tau selain Aina, Dipta, dan Tuhan.

Bunda mengusap punggung tangan Aina. Tatapannya lembut. "Kalau memang keputusanmu sudah bulat, Bunda dan Ayah hanya bisa mendukung. Namun, ingat satu pesan Bunda, jangan sampai keputusan yang kamu ambil dalam keadaan emosi itu kamu sesali di kemudian hari. Alangkah baiknya sebelum berangkat sidang, kamu istikharah dulu. Minta petunjuk kepada Allah. Jika memang rumah tangga kalian tidak bisa dipertahankan, semoga Allah memberikan yang terbaik untuk kalian ke depannya."

Jangan Sentuh Saya, Dokter! [PINDAH KE GOODNOVEL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang