Deal!

6.6K 376 9
                                    

"Apa yang ingin anda bicarakan?" Tanya Aina dingin tanpa memandang pemuda yang duduk di sebelahnya.

Dia duduk memeluk lutut sambil menatap lurus ke air terjun kecil di depannya. Bawahan gamis abu-abunya yang menjuntai agak berkibar tertiup angin.

Kini mereka sedang duduk di pinggir sungai yang tak jauh dari rumah Aina. Menurutnya, ini tempat yang cocok untuk mereka bicara berdua. Tempat ini sepi. Tak ada yang bisa mendengar pembicaraan mereka.

"Bolehkah saya tau apa yang membuatmu tidak ingin menikah?" Tanya Dipta sambil memiringkan wajah menghadap wanita di sampingnya.

Aina sudah mengira akan mendengar pertanyaan itu. Dia hanya tersenyum miring masih dengan menatap air terjun.

"Tak ada alasan khusus. Saya hanya tidak tertarik dengan dunia pernikahan. Saya merasa tidak membutuhkannya," Jawab Aina santai.

"Benarkah? Hanya itu? Kamu tidak butuh pendamping?" Dipta kembali bertanya. Dia benar-benar tertarik untuk mengetahui alasan wanita itu.

Aina mengedikkan bahu. "Saya sudah terbiasa sendiri. Mencukupi kebutuhan hidup saya sendiri,  memenuhi keinginan saya sendiri. Saya tidak butuh seorang suami." Tatapannya beralih ke jari-jari kakinya yang terbalut flatshoes coklat muda. Dia menunduk sebelum melanjutkan,

"Lagi pula, saya tidak ahli dalam pekerjaan rumah tangga. Saya tidak bisa memasak, saya tidak bisa mencuci, dan tidak bisa merapikan rumah. Bahkan kamar saya lebih terlihat seperti gudang yang tak terurus. Saya bukanlah seorang istri idaman." Aina memiringkan kepala menatap Dipta saat mengatakan 'istri idaman', diiringi senyum simpul wanita itu.

Dipta harus mengerjapkan mata beberapa kali karena kaget dengan senyuman tiba-tiba Aina. Meski hanya sekilas, namun senyuman Aina berpengaruh banyak bagi meningkatnya detak jantung lelaki itu sekarang.

"Saya tidak mempermasalahkannya," Ucap Dipta mantap. Aina menoleh. Tidak faham maksud laki-laki di sampingnya.

"Jika kamu takut setelah menikah kamu akan kehilangan karir dan berakhir menjadi ibu rumah tangga, saya jamin itu tidak akan terjadi. Kamu tetap bisa berkarir dan untuk masalah rumah, kita bisa mempekerjakan orang untuk mengurusnya," Jelas Dipta sambil tersenyum ke arah Aina.

Sedangkan Aina memutar bola mata malas. Apa menurutnya itu yang aku takutkan? Batinnya meremehkan.

"Saya tetap tidak akan menikah dengan anda meskipun anda menerimanya."

"Kenapa?" Tuntut Dipta. Padahal dia pikir setelah berkata seperti itu Aina akan menerimanya. Ternyata dugaannya meleset jauh. Aina bukanlah perempuan yang akan dengan mudah merubah keputusan. Wanita itu begitu keras kepala.

"Anda benar-benar ingin tau alasan saya yang sebenarnya?" Tanya Aina sambil memandang Dipta lekat-lekat. Dipta mengangguk cepat. Memang itu yang sedari tadi dia tunggu.

Aina menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya kasar sebelum menjawab,

"Saya sudah tidak perawan." Tatapannya lurus dengan gurat kesedihan begitu kentara terpancar dari kedua matanya.

Dipta tertegun. Sedikit kaget dengan pernyataan Aina, namun buru-buru dia menguasai diri.

"Saya adalah sampah sekarang. Saya merasa begitu hina bahkan jauh lebih hina dari pelacur. Saya tidak ingin memberikan sampah untuk siapapun lelaki yang menjadi suami saya. Karena itulah saya tidak ingin menikah," Jelas Aina sambil menundukkan kepala dengan suara lirih. Lebih terdengar seperti gumaman. Namun Dipta masih bisa mendengarnya dengan jelas karena jarak mereka yang cukup dekat.

"Bagaimana jika saya tetap menerimanya?" Aina mendongak menatap tajam kedua mata Dipta. Mencari kebenaran dari apa yang baru saja dia dengar. Dipta hanya tersenyum sambil membalas tatapan Aina.

"Jika saya menerima semua yang kamu keluhkan itu, apa kita bisa menikah?" Tanya Dipta lagi. Sorot matanya begitu menuntut akan jawaban.

"Hanya jika anda menandatangani surat perjanjian pranikah yang saya buat," Jawab Aina kembali dingin seraya memalingkan wajahnya dari Dipta. Dia bangkit lalu membalikkan badan berniat kembali ke rumah. Dipta tersenyum.

"Baiklah. Silakan buat perjanjiannya dan akan langsung saya tandatangani. Anggap saja pernikahan ini seperti kesepakatan bisnis," Ucap Dipta seraya mengikuti perempuan yang berjalan dua langkah di depannya itu.

Sepertinya masih ada harapan. Batin Dipta optimis.

***

Jangan Sentuh Saya, Dokter! [PINDAH KE GOODNOVEL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang