"Apa yang membuat pipimu merona sepagi ini, Aina?"
Suara bariton Dipta membuat Aina tergagap. Dia tak menyadari bahwa sedari tadi lelaki itu sudah membuka mata dan sibuk menatap wajah cantik yang dihiasi senyum manis dan pipi memerah miliknya.
Sejak alarm yang disetel pukul tiga pagi berdering lembut dari ponselnya, Aina memang sudah bangun. Dia tidak sadar bahwa gerakan halusnya yang meraih ponsel untuk mematikan alarm itu membuat Dipta terbangun juga.
"Ti-tidak. Aku tidak merona," jawab Aina sambil merangsek lebih dalam ke pelukan laki-laki yang sedang terkekeh itu.
Dipta mengeratkan pelukan sebelum berkata, "Mengingat yang semalam, hum?"
"Mas, ah ...," rengek Aina manja. Semakin menenggelamkan wajah di dada Dipta untuk menutupi pipinya yang serupa kepiting rebus sekarang.
"Hentikan, Aina. Kamu membuatku ingin lagi," bisik Dipta di telinga Aina saat wanita itu semakin membenamkan wajah di dadanya.
Pipi Aina semakin terasa panas. Apalagi saat Dipta kembali berbisik di telinganya. "Atau memang kamu ingin lagi?"
"Mas, ah. Berhenti menggodaku," gerutunya sambil mencubit pinggang Dipta pelan.
Dipta semakin tergelak. Dibelainya surai sepekat malam milik Aina sampai ke punggung. Pagi ini adalah pagi paling membahagiakan yang dirasakan Dipta sejak mereka menikah.
"Mau kemana?" tanya Dipta saat Aina mengurai pelukan lalu menyibak selimut.
Aina menengok sekilas. "Mandi, Mas. Sudah mau subuh."
"Aku ikut?" Iris hitam Dipta berbinar. Sedangkan Aina menggeleng tegas. "Tidak."
"Ayolah. Izinkan aku ikut," rengek Dipta sambil mengerjapkan mata berkali-kali.
"Kubilang tidak," ketus Aina sebelum menutup pintu kamar mandi.
Dipta tergelak melihat semburat merah di kedua pipi Aina. Wajah kesal Aina memang salah satu hal yang paling dia suka. Begitu manis.
//
Hari yang cerah. Semilir angin pantai meriapkan jilbab bergo cokelat muda yang dikenakan Aina. Kacamata hitam yang bertengger di hidungnya menjadi penangkal sinar matahari yang berusaha menerobos retina. Tubuhnya terbaring di atas tikar yang digelar di atas hamparan pasir putih berdindingkan batu karang terjal di belakangnya.
Dipta berjalan menghampiri istrinya dengan dua buah kelapa muda di tangan. Setelah mendudukkan diri di samping Aina, dia ulurkan salah satu kelapa muda itu yang segera Aina terima dengan gembira.
"Kamu tidak ingin bermain air?" Dipta bertanya.
Aina menggeleng sambil menyesap air kelapa muda lewat sedotan. "Aku tidak suka bermain air. Lebih menyenangkan melihat ombak-ombak itu saling berkejaran seperti ini."
"Aku pikir kamu suka berenang di pantai." Dipta berujar seraya mengangguk.
"Tidak terlalu. Lebih menyenangkan menikmati pemandangan sambil minum kelapa muda seperti ini."
Dipta menggeleng mendengar ucapan Aina. "Bagiku lebih menyenangkan mengamatimu."
Seketika Aina menoleh. "Sejak kapan anda menjadi tukang gombal begini, Dokter Alvin Pradipta?" sindirnya.
Dipta tertawa. Diusapnya belakang kepala Aina sambil berujar, "Aku tidak menggombal. Hanya mengungkapkan isi hati."
Semburat merah seketika muncul di kedua pipi Aina. Detak jantungnya tiba-tiba tidak normal, terlalu kencang. Lama-lama dia bisa terkena serangan jantung jika terlalu sering berdekatan dengan Dipta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Sentuh Saya, Dokter! [PINDAH KE GOODNOVEL]
RomanceWarning : 18+ (Beberapa part berisi konten dewasa. Bijaklah dalam memilih bacaan) SEBAGIAN BESAR PART TELAH DIHAPUS. PINDAH KE GOODNOVEL UNTUK BACA SELENGKAPNYA. * Tak pernah terlintas di benak Aina Zavira bahwa dia akan menikah, apalagi dengan laki...