Our Meet

7.9K 453 13
                                    

Reuni kecil-kecilan bersama teman-temannya berjalan menyenangkan. Yah, meskipun ada sedikit masalah di awal, namun akhirnya suasana mencair dan obrolan dilanjutkan dengan hal-hal menarik. Pukul satu siang, Aina memutuskan untuk pulang.

Setelah perjalanan setengah jam menggunakan taksi, dia akhirnya sampai di halaman rumahnya. Terlihat di depan rumah, ada sebuah mobil putih terparkir.

Apa ada tamu? Batinnya bertanya.

Dia segera berjalan melewati mobil itu menuju rumah. Saat masuk, terlihat ada seorang wanita paruh baya bersama laki-laki muda yang mungkin seumuran dengannya sedang duduk bersama orang tuanya di ruang tamu. Dia tersenyum ramah kepada sang wanita seraya mencium tangan wanita itu takzim.

Setelah sedikit basa-basi, dia melangkah masuk meninggalkan tamu ayahnya dan mengistirahatkan tubuh di dalam kamar.

//

-Dipta's POV-

"Dipta, sudah pulang, Nak?" Tanya mama sesaat setelah aku memarkirkan motor di garasi.

"Sudah, Ma. Seminarnya hanya sebentar. Ada apa?" Tanyaku sembari melangkah masuk.

"Kemarin anak teman Mama menikah, tapi kamu tau sendiri Mama bekerja, jadi tidak bisa hadir. Hari ini Mama ingin kesana tapi papa kamu masih sibuk, kamu temani Mama ya?"

"Baiklah," Jawabku ketika melihat Mama sudah rapi dengan gamis ungunya dan tak lupa menenteng tas. Ku raih kunci mobil yang ada di meja TV kemudian menyusul Mama yang sudah lebih dulu keluar.

Butuh sekitar satu jam berkendara tanpa kemacetan untuk sampai ke rumah yang dimaksud. Segera ku belokkan mobil mengikuti instruksi Mama saat melihat rumah minimalis modern dengan halaman luas berwarna abu-abu putih itu.

Ku ikuti langkah Mama yang sudah lebih dulu turun dari mobil dan berdiri di depan rumah menunggu dibukakan pintu.

"Assalamualaikum.." ucap Mama seraya mengetuk pintu beberapa kali.

Tak berapa lama, terlihat seorang wanita muda mengenakan kerudung merah membukakan pintu dan mempersilahkan kami masuk.

Aku duduk di pojok kanan dari pintu masuk, sedangkan Mama duduk di samping kiriku. Sejurus kemudian, sang Tuan rumah terlihat keluar diikuti wanita paruh baya yang membawa nampan berisi minuman dan cemilan di belakangnya. Kami berdiri menyambut kehadiran si empunya rumah.

Mama menjabat tangan tuan rumah seraya berkata, "Apa kabar, Pak? Maaf baru bisa datang. Padahal resepsinya kemarin."

"Tidak apa-apa, Bu. Saya paham anda dan bapak orang sibuk," Jawab si tuan rumah--yang akhirnya ku tau bernama pak Sabani, sambil mengulaskan senyum ramah. Mama kemudian menyapa istri pemilik rumah sebelum memperkenalkanku. Mama juga meminta maaf karena papa tidak dapat hadir hari ini.

"Lho, ini putra bungsunya, Bu? Sudah dewasa ternyata." Tawa renyah meluncur dari mulut mereka, sedangkan aku yang sejak tadi diam hanya tersenyum menimpali.

"Kerja dimana, Nak?" Tanya pak Sabani padaku.

"Di Semarang, Pak. Di rumah sakit Queen Elizabeth," Jawabku sambil mengangguk sopan.

"Oh benarkah? Putriku juga bekerja di Semarang. Dia mengajar di SMA.. SMA apa ya, Bun?"

"SMA Islam Salahudin Al-Ayubi, Yah," Jawab istrinya.

"Oh iya? Itu SMA elit lho pak di Semarang." Mama menimpali. Aku hanya ber-oh ria dalam hati. "Yang kemarin menikah itu kah?" Mama kembali bertanya.

"Bukan. Yang baru saja menikah itu putriku yang nomor dua, Bu. Yang di Semarang sulungku. Dia belum menikah. Katanya masih ingin berkarir."

"Biasa itu, Pak. Anak kalau terlalu sibuk dengan pekerjaan jadi lupa untuk menikah. Anakku juga begitu. Terlalu sibuk mengurusi pasiennya di rumah sakit sampai lupa kalau dirinya sudah tua," Sindir Mama sambil melirikku. Mereka kembali tertawa menanggapi celotehan mama yang kurasa tak lucu sama sekali.

"Sekarang dimana putrinya, Pak? Sudah kembali ke Semarang?" Tanya mama lagi. Aku merasakan ketertarikan dari mama kepada wanita yang dari tadi dibicarakan.

"Tidak, Bu. Dia sedang keluar. Mungkin sebentar lagi pulang," Jawab istri pak Sabani.

Tak lama setelahnya, terdengar suara mobil memasuki halaman rumah. Kami menoleh ke sumber suara dan melihat wanita cantik keluar dari taksi dan berjalan anggun ke arah kami. Entah mengapa, tatapanku seakan terkunci padanya.

Masih ku dengar suara pak Sabani berujar, "Itu dia, Aina sudah pulang." Namun, pandanganku masih terkunci pada wanita yang tiba-tiba sudah berada di dalam rumah, berdiri di samping mama.

"Aina, Tante." Wanita itu memperkenalkan diri sambil mencium tangan Mama.

Tak berapa lama, wanita itu pamit untuk masuk ke dalam rumah. Seiring dengan hilangnya dia dari pandanganku, kesadaran ku pun kembali.

Entah kapan terakhir kali jantungku berdebar karena seorang wanita. Tapi, hari ini aku merasakannya lagi.

***

Jangan Sentuh Saya, Dokter! [PINDAH KE GOODNOVEL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang