Invitation

8.1K 255 6
                                    

Aina mengerjapkan mata untuk menghalau cahaya matahari yang menerobos netranya. Dia melangkah keluar dari mobil sambil membawa dua tas, sedangkan Dipta mengikutinya dengan koper besar di tangan.

Jam tiga sore, mereka sudah tiba di rumah setelah perjalanan panjang yang melelahkan dari Bali. Perjalanan yang rencananya hanya menjadi liburan biasa, tetapi berubah menjadi bulan madu seperti pasangan suami istri pada umumnya. Bulan madu yang semoga menjadi pintu gerbang kehidupan rumah tangga mereka menjadi lebih baik.

Aina membuka pintu kamar. Dia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan yang beberapa hari dia tinggalkan, melangkah perlahan lalu mendudukkan diri di atas ranjang.

Dipta menyusul beberapa saat kemudian. Meletakkan koper di samping meja rias, lalu ikut duduk di tepi ranjang, di samping istrinya.

"Kamu lelah?" Dipta bertanya seraya merengkuh bahu Aina. Dia menyenderkan kepala wanita itu ke bahunya.

Aina bergumam singkat. Kemudian mengangkat wajah menghadap Dipta. "Aku lapar."

Mendengar itu, Dipta terkekeh. Dibelainya pipi yang bersemu merah milik Aina seraya bertanya, "Mau makan apa?"

"Sesuatu yang kamu buat. Apa pun." Aina menjawab dengan mata berbinar.

Dipta menggeleng melihat tingkah wanitanya. Setelah sesi terapi mereka selesai, Aina memang beberapa kali menunjukkan sikap yang berbanding terbalik dengan yang biasa Dipta lihat. Meski masih sering berbicara dengan nada datar dan sesekali ketus, tetapi perlakuan Aina dan cara dia menatap Dipta sudah berubah. Lebih lembut dan hangat. Tidak sekeras dan sedingin dulu. Aina tidak lagi membatasi diri dari Dipta.

"Baiklah. Aku akan membuatkanmu ... nasi goreng?"

Aina mengangguk semangat. Dia suka nasi goreng. "Yang pedas," sahutnya seraya mengikuti langkah Dipta menuju dapur.

Sesampainya di dapur, Dipta dengan sigap menyiapkan bumbu dan mulai meraciknya. Sedangkan Aina duduk di kursi meja makan menghadap suaminya. Mengamati setiap gerak laki-laki tampan itu dengan seksama.

"Kamu bisa membuat nasi goreng?" Aina bertanya.

Dipta menolehkan kepala sesaat sambil tersenyum simpul. "Semoga bisa."

"Kamu bisa memasak?" Alis Aina bertaut saat menanyakan itu.

"Sedang belajar."

"Kenapa belajar?"

Dipta menghentikan kegiatan mengiris bawangnya lalu berbalik menghadap Aina. "Kalau kamu saja mau belajar memasak untukku, kenapa aku tidak boleh belajar memasak untukmu?"

Dia kembali memusatkan perhatian pada bawang putih di tangan sebelum melanjutkan, "Lagi pula ini tidak terlalu susah."

Aina terdiam mendengar ucapan Dipta. Hatinya tiba-tiba merasa nyaman. Aneh. Padahal sebelumnya, mau bagaimana pun baiknya perlakuan Dipta kepadanya, Aina selalu merasa kesal. Namun, sekarang rasanya berbeda. Rasa seperti itu ... sudah lama tidak pernah singgah di hatinya.

Wanita bersurai sepekat malam itu menunduk sesaat. Menetralkan warna pipinya yang tiba-tiba semerah tomat. Lalu mendongak dan berkata dengan nada yang dibuat datar. "Aku tidak belajar memasak untukmu."

Dipta terkekeh. "Benarkah? Lalu kenapa akhir-akhir ini kamu begitu giat mencoba berbagai resep? Dan lagi, makanan yang kamu buat rata-rata kesukaanku."

Ah sial. Aina merutuki diri sendiri. Seharusnya dia tidak perlu belajar memasak makanan kesukaan suaminya itu.

Dehaman beberapa kali terdengar sebelum Aina menyangkal ucapan Dipta. "Aku belajar memasak untuk Mama."

Jangan Sentuh Saya, Dokter! [PINDAH KE GOODNOVEL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang