Our Wedding

8.8K 370 12
                                    

Dipta membaca dengan seksama isi dari surat perjanjian pranikah di tangannya. Saat ini dia sedang duduk di ruang tamu rumah orang tua Aina bersama keluarga mereka.

Seperti yang sudah mereka sepakati kemarin, Aina akan membuat surat perjanjian pranikah dan keesokan harinya Dipta beserta keluarganya bisa kembali ke rumah Aina untuk memutuskan akan melanjutkan perjodohan ini atau menghentikannya.

Dipta tersenyum sebelum mengambil bolpoin di atas meja dan tanpa ragu menandatangani surat perjanjian itu.

Sontak itu membuat Aina terkejut. Dipta bahkan sama sekali tidak mendiskusikan keputusannya dengan orang tuanya dan langsung menandatangani surat itu tanpa berpikir.

Tangan Aina mengepal kuat. Dia merasa sangat kesal dengan laki-laki dihadapannya itu.

"Kenapa anda langsung menandatanganinya? Anda bisa membawanya pulang dan memikirkannya terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan," Protes Aina yang tidak ditanggapi oleh lelaki itu.

Setelah selesai menandatanganinya dan disaksikan oleh semua yang hadir disitu, Dipta meletakkan surat beserta bolpoin di tangannya ke atas meja.

"Jadi, kapan kita bisa menikah?" Tanya Dipta disertai senyuman miring dari bibirnya.

Aina hanya membuang muka melihat senyum menyebalkan di wajah Dipta, lalu menjawab dengan malas, "Anda bisa bicarakan itu dengan ayahku."

Sial! Aku membuat surat perjanjian itu supaya dia tidak jadi menikahiku. Kenapa malah dia tanda tangani tanpa berpikir? Gerutunya dalam hati. Merasa kecewa dan kesal karena rencananya tak sesuai dengan kenyataan.

Akhirnya, keputusan telah diambil. Pernikahannya akan diselenggarakan bulan itu juga karena bulan Syawal adalah bulan yang baik untuk menikah. Terlebih lagi mereka menemukan tanggal yang bagus untuk pernikahan mereka berdua. Aina menghela nafas. Dia sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Dia merasa jengkel karena seakan terjebak dalam perangkapnya sendiri.

Biarlah. Setidaknya dia sudah menyetujui syarat yang ku ajukan. Batinnya mencoba menenangkan.

Obrolan dilanjutkan dengan pembahasan konsep pernikahan yang akan dipakai, prosesi adat yang harus dilakukan sebelum akad dan serba serbi pernikahan lainnya. Aina tidak begitu mengerti hal-hal seperti itu dan tidak ingin mengetahuinya. Biarlah itu menjadi urusan bunda dan calon mama mertuanya. Dia cukup duduk mendengarkan tanpa berniat mengambil bagian dalam pembicaraan itu.

Sedangkan Dipta? Dia hanya terus menerus menatap Aina sambil tersenyum. Entahlah. Dia merasa begitu bahagia karena bisa menikahi perempuan keras kepala seperti Aina.

//

Tak perlu menunggu sampai berbulan-bulan karena hanya tiga minggu kemudian pernikahan itu diselenggarakan. Akad nikahnya dilakukan di sebuah masjid besar masih di kawasan rumah Aina, sedangkan resepsinya akan dilakukan esok hari di sebuah hotel yang cukup ternama di daerah itu.

Aina duduk di salah satu ruangan di lantai dua masjid mengenakan kebaya pengantin mewah berwarna putih dengan hiasan mutiara cantik di bagian dada serta bordiran berbentuk bunga mawar di bagian bawah. Bagian belakang kebayanya menjuntai panjang hingga hampir menyentuh lantai. (Lihat Multimedia)

Aina duduk dengan gelisah di dalam ruangan ditemani beberapa saudaranya. Tangan yang dihias hena putih itu saling meremas menyalurkan kegugupan.

"Mbak, tenang. Tidak perlu takut. Semua pasti akan berjalan lancar," Ucap Iva berusaha menenangkan mbaknya dengan memberikan sentuhan halus di bahu Aina.

Justru aku berharap semua tidak akan berjalan lancar! Aina bersungut dalam hati. Dia masih berharap pernikahan ini bisa digagalkan.

Sebenarnya, dia bisa saja kabur dari sini atau membuat keributan karena akad nikah belum dimulai. Namun, setelah mengedarkan pandangan dan menemukan senyum bahagia dari wajah orang-orang yang dicintainya, tidak! Aina tidak tega melakukan itu.

Hatinya semakin gelisah saat terdengar suara ayahnya menggema di seluruh masjid mengucapkan ijab dalam bahasa Arab.

"Qobiltu nikakhaha wa tazwijaha bil mahril madzkur haalan." Seru Dipta lantang tanpa keraguan.

Hati Aina mencelos. Semua sudah berakhir. Kata 'sah' yang diserukan para saksi menjadi tanda bahwa mulai saat ini dia telah resmi menjadi seorang istri.

Iva memeluk kakaknya dengan haru, diikuti pelukan dari sepupunya yang lain. Mereka bersorak mengucapkan selamat kepada Aina dengan suara berbisik. Takut suara mereka terdengar sampai ke bawah. Sedangkan Aina sangat ingin menangis saat ini. Tangis kesedihan. Namun, dia berusaha mati-matian menahannya.

Iva dan Ayu sepupunya bangkit dari duduk dan menggandeng Aina untuk turun ke bawah, menemui suaminya. Iva, dengan perut yang sedikit membuncit karena sedang hamil muda berdiri di samping kanan Aina, sedangkan Ayu yang mengenakan kebaya peach cerah seperti Iva berdiri di samping kirinya. Mereka berjalan perlahan menuruni tangga diiringi tatapan mata dari orang-orang yang menunggu mereka di bawah. Atau lebih tepatnya, menunggu Aina.

***

Jangan Sentuh Saya, Dokter! [PINDAH KE GOODNOVEL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang