Dipta

7.7K 364 10
                                    

Suara ketukan dari sepatu pantofel yang beradu dengan lantai marmer putih mengiringi langkah Dipta menyusuri lorong-lorong bangunan serba putih yang menjadi tempatnya bekerja. Bagian bawah jubah putih yang dia kenakan melambai mengikuti gerakan saat berbelok memasuki ruang praktiknya. Di depan pintu ruangannya terdapat papan bertuliskan dr. Alvin Pradipta, Sp.PD-KPsi. Dokter Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Psikosomatik.

Dipta sedang membuka beberapa berkas pasien di meja saat pintu ruangannya tiba-tiba terbuka, memunculkan sosok pria dengan jubah dokter seperti yang dikenakannya.

"Selamat pagi, pengantin baru," sapa laki-laki itu seraya mendudukkan diri di kursi kosong depan Dipta. Senyum miring terbesit dari wajah tampannya.

Dipta menanggapi dengan enggan, "Mau apa kau kesini, Yudi?" Tanyanya dengan wajah datar tanpa mengalihkan pandangan dari berkas-berkas di tangan.

"Oho, ada apa, brother? Apa malam pertamanya nggak berjalan lancar? Ini bukan wajah yang biasa diperlihatkan pria yang baru menikah." Laki-laki yang dipanggil Yudi itu bertanya sambil menelungkupkan tangan di atas meja.

Dipta masih membalas dengan nada datar tanpa menatap rekan sejawat sekaligus sahabatnya itu. "Bukan urusanmu. Pergilah. Pasienmu sedang menunggu."

Mengabaikan perintah Dipta, laki-laki itu kembali bertanya, "Apa dia masih bersikap dingin sama lo?"

Kali ini Dipta mengangkat wajah. Sorot matanya begitu dingin dengan ekspresi datar, namun ada kilatan amarah yang terusik mendengar pertanyaan itu.

Bukannya takut, Yudi justru tergelak melihat ekspresi Dipta. Tanpa Dipta berkata pun Yudi sudah tau jawabannya.

"Ayolah, brother. Lo kan dokter idola di rumah sakit ini. Masa menaklukkan hati seorang Aina aja lo nggak bisa? Apa harus gue yang turun tangan?" Tanya Yudi dengan senyum lebar dan alis yang naik turun.

"Sudah, Yudi. Pergilah. Aku sedang tidak ingin diganggu. Pekerjaanku masih banyak." Yudi terkekeh pelan.

"Oke, oke, gue pergi. Takut ganggu singa yang nggak dikasih jatah malam pertama," ucap Yudi sambil melangkah meninggalkan ruangan Dipta diiringi tawa yang terdengar bahkan saat dia sudah di luar.

//

Jam tujuh malam Dipta memarkirkan mobil di garasi, memasuki rumah dengan kantong plastik berisi makanan di tangan. Diletakkannya kantong plastik itu di meja makan lalu segera menaiki tangga menuju kamar, mencari sang istri.

Selama satu minggu mereka menikah, Dipta memang selalu membeli makan untuk mereka berdua. Itu karena Aina tidak bisa memasak, dan Dipta belum sempat mencari orang untuk dipekerjakan di rumahnya.

Dipta mengetuk pintu kamar dan melangkah masuk setelah terdengar suara Aina berkata, "Masuk."

"Makan malamnya ada di bawah. Kamu turun dulu, aku mau ganti baju," ujarnya kepada Aina yang duduk di ranjang dengan laptop di pangkuan.

Aina mengangguk singkat lalu menutup laptop dan beranjak turun dari ranjang. "Soto ayam, kan?" Aina menyempatkan bertanya.

"Iya. Sesuai pesananmu," jawab Dipta tepat sebelum pintu kamar tertutup. Setelah mengganti baju dengan pakaian yang lebih santai, dia menyusul Aina yang sudah lebih dulu berada di ruang makan.

Terlihat di atas meja makan itu dua mangkok soto ayam dan dua gelas es teh telah tersaji. Mereka segera duduk dan makan dalam diam. Selesai makan malam, Aina kembali ke kamar sedangkan Dipta masuk ke ruang kerjanya di samping kamar utama.

Pukul 10 malam dan Dipta sudah mulai mengantuk. Dia pun kembali ke kamarnya dan agak terkejut melihat pemandangan di atas ranjang. Aina sudah terlelap dengan posisi miring menghadap nakas, membelakangi tempatnya seperti biasa. Namun yang membuatnya terkejut adalah gaun malam yang digunakan Aina. Biasanya dia selalu menggunakan baju tidur lengan panjang dengan bahan yang tebal supaya tidak menerawang. Sedangkan sekarang, Aina mengenakan gaun malam putih berbahan satin yang panjangnya hanya sebatas lutut.

Susah payah Dipta menelan ludah lalu memalingkan wajah dari kaki jenjang serta lengan Aina yang mulus. Dengan sangat hati-hati dia menaiki ranjang dan merebahkan diri menghadap punggung Aina.

Dipta memang tidak seperti lelaki kebanyakan. Dia tidak pernah mengenal yang namanya free sex atau semacamnya. Dia tidak pernah menyentuh perempuan sebelumnya. Bahkan dia hanya pernah berpacaran sekali saat kuliah dulu. Itupun hanya sekedar berpegangan tangan dan berboncengan. Yah, sebatas itu. Tidak pernah lebih. Meski teman-temannya sering mengajaknya bermain ke tempat hiburan malam ataupun memesan perempuan untuk mendatangi apartemen mereka, Dipta tidak pernah dan tidak tertarik melakukan itu. Dia tidak pernah berminat dengan kehidupan bebas yang hanya memberi kebahagiaan semu.

Namun, bukan berarti nalurinya tidak berfungsi. Naluri seorang lelaki dewasa yang setiap malam harus tidur bersama perempuan cantik yang sudah sah menjadi istrinya namun tidak bisa dia sentuh. Bukankah itu sangat menyiksa? Setiap malam terasa seperti uji nyali bagi Dipta. Malam-malam panjang yang dia lewati begitu menegangkan sekaligus mendebarkan. Dia sangat menginginkan Aina tapi tak bisa berbuat apa-apa karena perjanjian sialan yang dengan bodohnya dia setujui.

Terkadang dia bertanya-tanya, mengapa dia mau saja menandatangani surat perjanjian pranikah itu. Namun, jika tidak menandatanganinya, dia tidak akan bisa menikahi perempuan menyebalkan yang sialnya berhasil mencuri hatinya itu.

Erangan lirih dari balik punggung yang membelakanginya membuatnya menoleh. Semakin lama rintihannya semakin keras diikuti bahu Aina yang perlahan bergetar. Kenapa dia?

"Aina, ada apa?" Tanya Dipta sambil menyentuh bahu Aina pelan, berusaha membangunkannya.

Namun, bukannya bangun. Justru suara isakan yang terdengar sebagai jawaban. Segera ditariknya bahu Aina supaya terlentang, dan apa yang dilihatnya membuatnya terhenyak.

Aina, perempuan galak yang setiap hari memarahinya, saat ini sedang menangis sesenggukan dengan air mata membanjiri wajahnya namun matanya masih terpejam. Buru-buru digoncangkannya bahu Aina untuk membangunkannya.

"Aina, bangunlah. Aina, bangun." Panggilnya berkali-kali. Namun, sial bagi Dipta. Bukannya pelukan hangat yang didapatnya sebagai balasan, malah suara teriakan yang memekakkan telinga yang terdengar olehnya.

"Kyaaaa! Apa yang kau lakukan?!!" Aina mendorong tubuh Dipta kuat-kuat agar menjauh dari sisinya.

"Ini bukan cara yang baik untuk berterima kasih." Ujar Dipta datar dengan sorot mata dingin.

"Apa maksudmu? Kenapa aku harus berterima kasih padamu?" Tanya Aina masih dengan teriakan nyaringnya.

"Barusan kau menangis sesenggukan saat tidur. Aku membangunkanmu untuk membebaskanmu dari apapun yang membuatmu menangis itu. Bukankah seharusnya kau berterima kasih?" Jawab Dipta tak kalah sinis. Tuhan, bagaimana bisa dia jatuh cinta pada wanita seperti Aina?

"Benarkah?" Nada bicara Aina melunak. Dia terdiam mengingat apa yang membuatnya menangis tadi.

"Kenapa kamu menangis seperti itu tadi? Apa kau bermimpi buruk?" Tanya Dipta penasaran.

Aina masih terdiam. Ditatapnya mata Dipta lekat-lekat. Tersirat keraguan dalam tatapannya sebelum akhirnya dia menjawab, "Bukan urusanmu. Tidurlah. Ini sudah larut." Lalu kembali merebahkan diri membelakangi suaminya.

Dipta menghela nafas kasar. Dirinya sungguh lelah menghadapi Aina. Entah bagaimana caranya mendapatkan hati perempuan itu. Baginya, Aina seperti gunung es kokoh yang sangat sulit dia taklukan.

***

Jangan Sentuh Saya, Dokter! [PINDAH KE GOODNOVEL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang