The Reunion

9.4K 411 17
                                    

Pagi-pagi sekali Aina sudah rapi. Blouse ruffle biru langit dan rok jeans warna senada telah sempurna membalut tubuh rampingnya. Kini ia sedang duduk di depan cermin memoles wajahnya dengan make up natural. Setelah dirasa cukup, dia menarik jilbab pashmina biru cerah yang senada dengan setelannya kemudian mengenakannya.

Hari ini dia akan bertemu dengan teman-teman lamanya saat SMA dulu. Yah, mumpung masih di rumah, sekalian menyempatkan diri untuk reuni kecil-kecilan. Meskipun hanya beberapa orang yang bisa hadir karena sebagian besar temannya telah berpindah ke daerah lain dan menetap di sana. Apalagi yang sudah menikah dan memiliki anak. Tentu akan sangat sulit untuk menyempatkan waktu berkumpul.

Sekali lagi, dia tatap bayangan dirinya sendiri di cermin, memastikan penampilannya telah sempurna sebelum meninggalkan kamarnya menuju ruang makan. Di ruang makan yang bersebelahan langsung dengan dapur itu, sudah ada bunda dan adiknya yang sedang menata makanan di meja untuk sarapan mereka. Bukan Aina tidak membantu, dia sudah membantu memasak segala makanan yang tersaji di meja makan itu sebelum bundanya menyuruhnya untuk segera mandi dan bersiap.

Tak berapa lama, tiga laki-laki penghuni rumah berbondong-bondong memasuki ruang makan. Ayah, adik bungsu, dan sekarang ada adik iparnya. Mereka segera duduk di kursi masing-masing dan memulai sarapan. Setelah selesai, Aina segera berpamitan kepada orang tuanya kemudian meninggalkan rumah menuju tempat pertemuan.

//

Setengah jam waktu yang Aina habiskan dalam taksi dan sekarang dia sudah sampai di halaman cafe yang menjadi tempat pertemuannya dengan teman-temannya. Ia melangkah dengan anggun memasuki cafe, terus melangkah menaiki tangga ke lantai dua. Setibanya di sana, dia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, mencari wajah-wajah yang dikenalnya. Telihat salah satu temannya melambai ke arah Aina dan segera ia hampiri.

“Assalaamu’alaikum..” ucapnya ramah seraya mengambil duduk di kursi yang telah disiapkan untuknya.

“Wa’alaikumussalaam..” jawab mereka hampir bersamaan. Aina menyalami satu persatu teman-teman yang sangat dirindukannya itu.

“Aina, bagaimana kabarmu?” tanya salah satu temannya yang bernama Fira.

“Aku baik, tentu saja. Kalian apa kabar?” 

“Kami baik juga,” jawab Amel bersemangat. “Kamu masih tinggal di Semarang?” lanjutnya, yang dibalas anggukan oleh Aina.

“Gimana, gimana? Kamu kapan nikah?” Deg! Dia baru saja datang dan langsung disambut dengan pertanyaan menyebalkan itu?

Ya Tuhan, aku tidak kesini untuk mendengar pertanyaan itu lagi. Rintihnya dalam hati.

“Kamu tau, Na, sebentar lagi Ningsih akan menikah. Dia baru saja bercerita kalau dia sudah bertunangan. Ya ampun, Ningsih.. akhirnya Fajar melamarmu juga setelah hampir sepuluh tahun kalian berpacaran. Kamu pacaran apa kredit rumah sih? Lama banget!” celoteh Dewi riang, sementara yang dibicarakan hanya tersenyum dengan wajah merona.

Sedangkan Aina, ia menghela nafas berat. Inikah alasan kita berkumpul disini? Batinnya protes.

“Kamu sendiri gimana, Na? Udah punya pacar belum?” tanya Dewi sambil mengalihkan wajah menatapnya. Diikuti tatapan teman-temannya yang lain.

“Aku belum punya pacar. Dan belum berniat memiliki pacar dalam waktu dekat,” jawabnya tanpa basa-basi. Pembahasan kapan menikah ini benar-benar membuatnya jengah.

“Lho, kenapa? Usiamu sudah lebih dari cukup untuk menikah. Bukankah kamu juga sudah sukses sekarang? Lalu, tunggu apa lagi?” tanya Dewi lagi. Fira yang mulai merasakan perubahan atmosfer diantara mereka berusaha menegur Dewi dengan menyenggol lengannya pelan.

“Aku memang tidak berniat untuk menikah. Tidak dalam waktu dekat ataupun selamanya.” jawaban Aina membuat teman-temannya tercengang.

“Kenapa, Na? Bukankah menikah adalah ibadah? Penyempurna separuh agama. Kamu yang paling paham agama diantara kita semua, seharusnya kamu tau itu kan?” Dewi masih bersikeras dengan pendapatnya.

“Justru karena aku paham agama, aku tau hukum asal menikah itu sunnah, bukan wajib. Jadi aku tidak akan berdosa jika tidak menikah,” ucap Aina tegas. Air mukanya berubah tegang sekarang.

“Bisakah kita hentikan pembahasan kapan menikah ini? Aku tidak datang kesini untuk mendengar pertanyaan menyebalkan itu dari kalian,” lanjutnya, yang membuat semua orang terdiam. Tak ada yang berani membantah jika Aina sudah seperti itu.

***

Jangan Sentuh Saya, Dokter! [PINDAH KE GOODNOVEL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang