Attempt

6.8K 315 4
                                    

"Gimana kehidupan rumah tangga lo sama Aina?" Yudi bertanya di sela-sela makan siang mereka.

Dipta meneguk air putih dalam gelasnya sebelum menjawab, "Masih sama."

"Astaga, Brother, lo nggak ada usaha sama sekali buat naklukin hati istri lo itu?" geram Yudi. Dia merasa kesal melihat pernikahan sahabatnya yang tidak jelas itu.

"Memang apa yang bisa kulakukan, Yudi? Aina itu terlalu keras. Dia seperti tebing kokoh yang sangat sulit ditaklukkan."

Yudi menggeleng dramatis. "Nggak ada perempuan kaya gitu buat gue."

Laki-laki tampan yang dijuluki buaya rumah sakit itu menyeruput kopi hitamnya sebentar sebelum melanjutkan. "Yang namanya perempuan itu hatinya lembut. Gampang dibikin jatuh cinta. Lu aja yang kurang usaha."

"Tapi Aina berbeda," potong Dipta.

Yudi mengangkat telunjuknya dan menggerakkannya ke kanan dan ke kiri di depan wajah Dipta. "No no no. Aina sama kaya perempuan lain di luar sana. Lu cuma butuh usaha buat naklukin dia. Jangan diem aja. Kasih perhatian, kasih hadiah, kasih gombalan. Perempuan mana yang bisa bertahan kalo udah diperlakukan kaya gitu?"

Kali ini Dipta terdiam. Benar juga yang dikatakan Yudi. Selama ini Dipta tidak pernah memberikan Aina hadiah atau semacamnya. Apalagi menggombal? Tidak sama sekali. Dia hanya mengikuti apapun yang disuruh Aina. Namun, tidak ada tindakan lebih. Mungkin saran Yudi bisa dia coba.

"Gimana? Masuk akal, kan saran gue?" tanya Yudi saat melihat Dipta merenung.

Laki-laki itu mengangguk pelan lalu bertanya lagi. "Jadi, apa yang harus kulakukan sekarang?"

Lagi-lagi Yudi hanya bisa menggeleng. "Masa kaya gitu masih ditanya? Pertama, sering-sering kasih Aina pujian. Kedua, kasih dia hadiah. Nggak perlu mewah. Bisa bunga, coklat, atau boneka misalnya. Perempuan suka hal-hal kaya gitu. Terus yang paling penting, kasih perhatian. Kalo lu lakuin itu, gue yakin Aina bakal meleleh terus jatuh hati sama lu. Percaya, deh."

"Kamu kelihatan berpengalaman sekali dalam bidang ini," sindir Dipta saat melihat senyum jumawa mengembang di bibir Yudi.

"Tentu lah, Brother. Pokoknya, kalo untuk masalah kaya gini, lu udah konsultasi ke dokter yang tepat."

Meskipun sudah menikah dan memiliki seorang putra, laki-laki yang berprofesi sebagai dokter umum ini memang masih suka berkelana menggoda perempuan muda untuk diajak bercinta. Dia sangat ahli dalam urusan menaklukkan hati wanita. Maka dari itu, dia dijuluki buaya rumah sakit. Hal-hal seperti ini sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Yudi. Menaklukkan wanita adalah keahliannya. Begitu yang selalu dia umumkan pada siapapun.

Dipta mengangguk. "Baiklah. Aku akan coba saran darimu."

//

Sore hari saat akan pulang ke rumah, Dipta menyempatkan diri untuk mampir ke toko bunga. Dia mengedarkan pandangan sampai ke sudut ruangan, celingukan mencari bunga apa yang kira-kira cocok untuk Aina.

"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya seorang wanita saat melihat Dipta berdiri di depan pintu toko.

"Mbak, bunga yang cocok untuk hadiah biasanya apa, ya?" Dipta bertanya seraya menatap bunga-bunga yang ditata dalam vas-vas cantik yang berjajar rapi.

"Hadiah untuk siapa, Pak? Dalam rangka apa?"

"Untuk istri saya, Mbak. Dalam rangka ...."

Dipta bingung. Dia mau memberikan Aina bunga dalam rangka apa?

"Dalam rangka memperbaiki hubungan?" Dia menjawab agak tidak yakin.

Sang wanita tersenyum paham. "Istrinya sedang ngambek, ya, Pak? Kalau begitu kasih bunga mawar merah saja, Pak. Simbol cinta, keromantisan, dan keintiman sebuah hubungan. Perempuan juga biasanya suka mawar merah, Pak."

Setelah menimbang-nimbang sesaat, Dipta akhirnya memutuskan memilih mawar merah sebagai hadiah untuk Aina.

Setelah buket bunga berukuran sedang berada di tangan, Dipta segera memacu mobilnya ke rumah. Tak sabar juga rasanya ingin melihat reaksi Aina.

Sesampainya di rumah, Dipta bergegas naik ke lantai atas memasuki kamar dan melihat Aina sedang duduk di ranjang memangku laptop ditemani musik klasik dan secangkir teh di atas nakas.

"Ehm ... Aina, sedang apa?" tanyanya gugup.

"Biasa. Menulis." Aina menjawab tanpa memalingkan wajah dari laptop di pangkuannya.

Dipta yang merasa gagal mendapat atensi wanita itu, segera menyerahkan buket mawar di tangannya pada Aina.

"Apa ini?" tanya Aina dengan alis terangkat.

"Bunga mawar."

"Untuk apa?"

"Untukmu."

"Dalam rangka?"

"Ehm ... kenapa kamu terus menerus bertanya? Kamu tidak suka bunga?" Dipta menarik kembali tangannya karena tak kunjung disambut Aina.

"Aku suka bunga. Tapi tidak suka saat bunga itu dipetik. Kasian," jelas Aina sambil menerima buket mawar merah dari Dipta. Setengah terpaksa.

"Oh, benarkah? Maaf, aku tak tau," sesal Dipta.

Aina menghirup wangi mawar di tangannya sesaat sebelum menjawab, "Tak apa. Omong-omong, untuk apa kamu memberiku bunga?"

Dipta yang tiba-tiba ditanya begitu langsung gelagapan. Dia berdeham beberapa kali untuk menghilangkan kegugupannya lalu menjawab dengan terbata-bata. "Untuk ... karena ... aku disuruh temanku. Maksudku, aku hanya ingin ...."

Dipta menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Bingung harus menjawab bagaimana.

"Ck, tak perlu melakukan hal-hal seperti ini. Tak ada gunanya untukku. Hanya karena kamu memberiku bunga, bukan berarti aku jadi jatuh cinta padamu. Aku takkan semudah itu jatuh cinta hanya karena diberi bunga. Mengerti?" ucap Aina dengan nada sedingin biasanya.

Tepat. Jawaban Aina tepat menghujam jantung Dipta. Jawaban itu seolah mengisyaratkan Dipta untuk mundur sebelum mencapai medan peperangan. Namun, Dipta bertekad untuk tidak menyerah begitu saja. Perjalanan ini masih panjang. Dipta pasti bisa memenangkan hati Aina suatu saat nanti. Dia harus yakin akan hal itu.

***

Jangan Sentuh Saya, Dokter! [PINDAH KE GOODNOVEL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang