Confess

4.2K 229 47
                                    

Double up yang kujanjikan entah dari kapan taun, wkwk. Maap yaaa.

Selamat membaca 😊

*

Aina tertegun sesaat, sorot matanya menatap tajam ke dalam kedua mata milik Galih, mencari kebenaran dari apa yang baru saja dia dengar. Lalu, tiba-tiba tawanya pecah. Tawa yang terdengar hambar. "Jangan bercanda, Kak. Tidak lucu."

"Aku tidak bercanda, Aina. Aku serius!" tegas Galih. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan,

"Aku mencintaimu sejak lama. Sejak kita masih bersama-sama di desa. Sejak kamu merengek minta bersekolah di sekolah yang sama denganku meskipun belum cukup umur. Sejak kamu menemaniku di sungai sepanjang hari meski kamu kedinginan. Sejak kamu menangis tersedu saat aku akan meninggalkanmu. Aku mencintaimu sejak dulu, sejak kita masih kecil. Sejak dulu perasaanku tidak pernah berubah. Justru semakin besar saat kita akhirnya bertemu lagi," ujarnya berapi-api.

Aina menatap Galih dalam-dalam. Kedua mata lelaki itu seakan berkobar. Namun, Aina justru membalasnya dengan tatapan sendu, seolah ingin mematikan kobaran api dalam sepasang mata itu.

"Maafkan aku, Kak, tapi aku tidak pernah menganggapmu lebih dari saudara," jujurnya dengan suara lirih.

Bahu Galih seketika luruh. Kobaran di matanya pun seketika padam, berganti sorot mata kecewa.

"Selama ini aku hanya menganggapmu kakakku. Kamu tau, kan, aku anak pertama. Aku tidak punya kakak. Aku merasa senang saat kamu memperlakukanku seperti adik. Maka dari itu aku selalu ingin berada di dekatmu. Aku tak pernah menganggapmu lebih dari itu, bahkan sampai sekarang."

Setiap kata yang meluncur dari bibir Aina menjelma mata pisau yang menggoreskan sayatan di dada Galih. Ternyata hatinya begitu sakit mendengar semua itu langsung dari mulut Aina sendiri. Rasanya bahkan jauh lebih sakit daripada saat dirinya tau Aina telah bersuami.

"Lagi pula, aku belum bisa melupakan Mas Dipta," gumam Aina.

"Bukankah kamu tidak akan rujuk dengannya?"

"Aku memang tidak pernah berpikir untuk kembali dengannya, tapi bukan berarti aku bisa langsung lupa. Aku sangat membencinya, aku benci karena dia ... tak bisa kulupakan."

Aina mengangkat wajah, menatap Daffa dengan pandangan menerawang. "Setiap kali melihat Daffa, aku selalu teringat Mas Dipta. Anak itu begitu mirip dengan ayahnya. Jadi, bagaimana bisa aku melupakan Mas Dipta?"

"Bukankah dia sudah mengkhianatimu?"

"Dia tidak pernah mengkhianatiku," cetus Aina. "Selama ini aku salah, Kak. Mas Dipta tidak pernah berselingkuh."

Galih membulatkan mata. Namun, sejurus kemudian dia tersenyum. "Kalau begitu kalian seharusnya rujuk saja."

"Tidak mungkin ... aku tidak bisa."

"Kenapa? Gengsi?" Pertanyaan Galih membuat Aina tersentak. Tepat!

"Kamu tidak mau mengakui kalau ternyata kamu salah?" sambungnya.

Galih paham bagaimana sifat Aina. Wanita itu sangat keras kepala. Apa pun yang dia yakini benar harus benar. Jika ternyata dia salah, dia takkan mau mengakuinya. Namun, haruskah egonya didahulukan untuk urusan seperti ini?

Aina tidak bisa menjawab, karena memang semua itu benar adanya. Dia masih mencintai Dipta, dia tau itu. Hatinya mengakui sepenuhnya kalau Dipta memang masih menjadi satu-satunya orang yang bertahta di sana. Namun, egonya tidak mau menerima kalau dirinya ternyata salah.

"Aina," panggil Galih. Membuat wanita yang sedari tadi menunduk itu mengangkat wajah.

"Jangan terlalu mengikuti ego. Sesekali pikirkan orang lain. Pikirkan anakmu yang pasti membutuhkan ayahnya."

Jangan Sentuh Saya, Dokter! [PINDAH KE GOODNOVEL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang