[18+] Anniversary

22.1K 430 7
                                    

"Ini kamu yang menyiapkan semuanya?" Aina bertanya seraya menatap sekeliling dengan wajah berseri.

Mereka berada di sebuah dermaga kecil yang sudah dihias sedemikian rupa dengan satu set meja makan di tengah, bertabur bunga dan lilin-lilin kecil sehingga terlihat begitu indah, apalagi saat malam hari.

Mereka berada di sebuah dermaga kecil yang sudah dihias sedemikian rupa dengan satu set meja makan di tengah, bertabur bunga dan lilin-lilin kecil sehingga terlihat begitu indah, apalagi saat malam hari

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

(Dihiasnya begini, tapi dermaganya kaya yang di mulmed, ya)

Candle light dinner. Salah satu kejutan yang Dipta siapkan jauh-jauh hari untuk merayakan ulang tahun pernikahan mereka. Dipta memang tipe lelaki romantis. Dia suka hal-hal manis seperti ini.

"Kebetulan sekali, malam ini bulan purnama," sambung Aina sambil menunjuk bulan yang menggantung rendah di langit temaram. Cahayanya menyirami air laut yang beriak pelan dan memantul menciptakan pendar keemasan yang begitu indah. Berpadu dengan sinar redup dari lilin-lilin yang berjajar rapi di tepi dermaga.

"Lihat, Mas, bulannya cantik sekali." Aina berseru takjub memandang lukisan Ilahi maha indah itu.

Dipta tersenyum. "Benar, begitu cantik. Sama sepertimu."

Bukannya bahagia atau minimal tersipu malu, Aina justru melotot. "Apa aku terlihat bulat?"

Dipta terkekeh. "Aku bilang, kamu cantik sepertinya. Bukan bulat sepertinya, Aina."

Tak lama, beberapa pelayan datang membawa nampan berisi berbagai makanan dan menatanya di atas meja. Aina mengangkat cangkir teh beraroma vanila yang Dipta pesan khusus untuknya, lalu menyesapnya pelan.

Mereka memulai makan malam dalam diam. Setelah makanan di piring masing-masing telah habis, barulah Dipta mengeluarkan kotak beludru hitam dari saku jasnya kemudian menyerahkannya pada Aina.

"Selamat ulang tahun pernikahan yang pertama," ucap Dipta saat Aina membuka kotak itu, lalu tercengang melihat isinya. Seketika matanya berbinar melihat kalung berliontin bunga sakura dengan permata merah muda menghiasi kelopaknya.

"Kamu suka?"

"Sangat," jawab Aina bersemangat. "Terimakasih. Kamu menyiapkan banyak hal untukku yang bahkan lupa tanggal pernikahan kita," lanjutnya dengan wajah sendu. Merasa bersalah, mungkin.

Dipta tertawa. "Aku tau. Tak apa. Aku tidak memintamu memberiku hadiah juga." Ucapan Dipta justru terdengar seperti sindiran yang membuat Aina semakin tertunduk lesu.

"Aina ...." Dipta bersuara setelah berdeham sebentar. Aina mendongak. Menatap lekat wajah Dipta yang sedang memasang ekspresi serius.

"Aku tau bagaimana arti pernikahan ini untukmu, tapi aku tetap ingin mengatakan hal ini," ujarnya yang membuat Aina mengerutkan dahi.

"Kamu tau, selama ini tak pernah ada keterpaksaan dalam hatiku untuk menjalani pernikahan bersamamu. Sejak awal. Saat aku pertama kali melihatmu, saat aku mengetahui alasanmu menolakku, saat kamu mengajukan perjanjian yang sebenarnya tak masuk akal bagiku, bahkan sampai detik ini. Tak pernah ada keterpaksaan untukku. Meski aku tau semua tentangmu, meski aku harus bertahan menghadapi sikap dinginmu, meski berulangkali mendapat penolakan darimu, aku tetap ingin menikahimu. Karena aku mencintaimu, Aina. Sejak pertama kali kita bertemu."

Aina masih terdiam, menatap lekat wajah Dipta yang melanjutkan bicara. "Kamu tidak perlu menjawabnya. Aku tidak memintamu membalas perasaanku, ataupun melarangmu menolakku. Kamu berhak atas hatimu dan aku tidak akan memaksa. Aku hanya meminta satu hal, izinkan aku membahagiakanmu."

Pandangan Aina memburam, tertutup kaca-kaca yang sebentar lagi luruh membasahi pipi. Dia menggigit bibir kuat-kuat menahan gemuruh di dadanya. Aina terdiam. Bingung harus menjawab apa. Setelah beberapa saat hening, dia akhirnya membuka suara.

"Aku ...." Dipta menunggu Aina melanjutkan ucapannya.

"Aku tidak suka adegan seperti ini." Sontak jawaban Aina membuat Dipta tertawa.

"Kamu memang tidak bisa diajak romantis."

Aina hanya meringis, memamerkan deretan gigi yang tersusun rapi. Dia lalu bangkit, melangkah pelan ke ujung dermaga dan duduk di sana. Melepas sepatu hak tingginya terlebih dahulu sebelum menggantungkan kaki. Dipta yang bingung dengan sikap Aina akhirnya mengikuti wanita itu. Duduk di pinggir dermaga dengan kaki menjuntai ke bawah.

WARNING : 18+

Aina mengayun-ayunkan kakinya dengan pandangan terkunci pada purnama. Bulan itu terlihat menggantung rendah, begitu besar dengan pendar kuning keemasan yang indah. Angin malam berhembus agak kencang, membuat bawahan gaun merahnya berkibar. Dipta memandangi wajah cantik di sampingnya puas-puas. Pipi yang berkilau tersiram pancaran sinar rembulan, iris kecoklatan yang berbinar indah, bibir merah yang dihiasi senyum manis, semua itu tak luput dari perhatian Dipta. Mereka duduk bersisian, begitu dekat hingga bahu saling bersentuhan.

"Mas," panggil Aina, masih dengan menatap purnama.

Dipta tergagap. Wajahnya memerah karena sadar tertangkap basah sedang memperhatikan wanitanya sejak tadi. Dia menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

Aina menoleh, wajahnya menghadap Dipta dengan tatapan tepat ke arah manik hitam lelaki itu.

"Terimakasih," imbuhnya kemudian.

"Untuk apa?" tanya Dipta bingung.

"Semuanya. Terimakasih sudah membantuku menghilangkan mimpi buruk yang bertahun-tahun menghantui, terimakasih karena tetap mau menerimaku meski kamu tau semua tentangku, terimakasih masih tetap bertahan meski berulangkali menerima penolakan, terimakasih sudah sabar menghadapi sifatku yang menyebalkan. Dan juga ...."

"Dan juga?"

Aina menunduk sebelum mengatakan, "Terimakasih ... karena telah sudi mencintaiku."

Dipta tersenyum. Seperti rumput sekarat yang tersiram hujan pertama, hatinya begitu lega. Dipta tak mengharap ucapan cinta, karena hanya dengan Aina berucap demikian, baginya sudah cukup.

Diraihnya dagu Aina agar pandangan mereka bertemu. Ragu-ragu Aina mengangkat wajah, membalas tatapan teduh manik sejernih telaga milik Dipta.

"Tidak perlu berterimakasih. Aku melakukannya dengan senang hati," ucap Dipta sebelum mendekatkan wajah.

Kali ini, Aina menutup mata. Dan perlahan meremas lengan Dipta saat bibir mereka bersentuhan. Aina tidak lagi berkeinginan untuk melawan. Segala yang dilakukan Dipta untuknya sudah lebih dari cukup sebagai alasan dia membuka hati untuk lelaki itu. Meskipun mungkin belum sepenuhnya, tapi setidaknya pelan-pelan.

Bibir Dipta bergerak lembut memagut bibir semerah ceri milik Aina. Tangannya yang berada di dagu Aina bergeser ke tengkuk dan menekannya guna memperdalam ciuman mereka yang semakin memanas. Sedangkan Aina melingkarkan satu tangannya ke pinggang kokoh Dipta, masih memejamkan mata menikmati lumatan di bibirnya.

Seolah tersadar akan sesuatu, Aina tersentak dan segera menarik diri. Dia membuka mata dengan nafas terengah-engah dan bibir mengkilap basah.

"Mas ...," panggil Aina, membuat Dipta menatap dengan pandangan kikuk. Apa dia telah melakukan kesalahan?

Aina menggigit bibir bawahnya. "Kita sedang di tempat terbuka. Aku malu jika ada yang melihat."

Ucapan Aina membuat Dipta tergelak, dan secara tidak sadar menghela nafas lega. "Tenang saja. Tak ada yang melihat."

Dipta lalu merengkuh bahu Aina, sedangkan Aina menyandarkan kepalanya pada bahu Dipta. Dibawah pancaran sinar rembulan, dua insan berlainan jenis ini akhirnya menikmati malam dalam diam.

***

Nih, author kasih ya kalian tunggu-tunggu. Selamat menikmati. Jangan lupa tinggalkan jejak, oke?

Salam sayang,

Author

Jangan Sentuh Saya, Dokter! [PINDAH KE GOODNOVEL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang