Divorce

3.5K 186 23
                                    

Dua bulan kemudian, hakim akhirnya mengetuk palu, mereka resmi bercerai. Seminggu setelahnya, Dipta datang ke pengadilan dengan langkah gontai untuk mengambil akta cerai. Selama persidangan yang memakan waktu dua bulan itu, Dipta selalu menghadiri sidang.

Bukan hanya karena ingin menaati hukum, alasan utamanya justru karena dia berharap bisa bertemu Aina di sana. Namun, sayangnya Aina tidak pernah menghadiri sidang kecuali saat sidang perdana. Setelah proses mediasi gagal, proses sidang tetap dilanjutkan dan semenjak itu Aina tidak pernah datang ke pengadilan. Dia hanya mengirimkan kuasa hukum untuk menyelesaikan semua urusannya.

Sudah segala cara Dipta lakukan untuk mencegah perceraian itu, tetapi apa daya jika Aina tetap bersikeras ingin berpisah darinya. Wanita itu mengirimkan beberapa rekannya sebagai saksi, bahkan Galih juga diminta menjadi saksi untuk persidangan mereka.

Aina juga tidak lupa menyerahkan surat perjanjian pranikah yang dahulu telah mereka tandatangani bersama untuk memuluskan proses perceraian mereka. Dalam perjanjian itu, jika ada salah satu pihak yang mengkhianati pernikahan, maka otomatis akan jatuh talak dan hak asuh anak serta seluruh harta gono-gini jatuh kepada pihak yang dirugikan.

Dengan semua yang Aina siapkan itu, Dipta tidak mampu melawan. Bahkan sebelum sidang mediasi, Aina sempat menghubungi Dipta dan meminta laki-laki itu untuk kooperatif agar perceraian mereka cepat selesai. Hati Dipta begitu sakit saat itu. Betapa wanita yang sangat dia cintai ternyata begitu mati-matian berusaha untuk berpisah darinya, sedangkan dia tidak bisa melakukan apa-apa. Dia tidak memiliki bukti yang mampu menunjukkan bahwa dia tidak bersalah. Dia tidak pernah mengkhianati pernikahan mereka.

Selembar surat yang menandai status barunya sebagai duda telah berada di tangan. Dipta pulang dengan perasaan hampa. Jiwanya terasa kosong, dia terus-menerus menatap akta cerai itu dengan tatapan nanar. Hari ini, dia telah resmi berpisah dengan Aina.

Setelah dari pengadilan, Dipta kembali mengendarai mobilnya ke rumah sakit. Dia harus tetap bekerja, karena hanya dengan itu dia bisa mengurangi sedikit saja rasa sedihnya.

Pintu ruangannya terbuka, dan Yudi menyambutnya dengan bangkit dari kursi. Dipta melangkah masuk dengan malas, lalu duduk di balik mejanya berhadapan dengan Yudi.

"Gimana, Bro? Udah selesai urusannya?" Yudi bertanya seraya kembali mendudukkan diri di kursinya.

Dipta hanya mengangguk malas tanpa bersuara.

"Yang sabar, Bro. Gue yakin lu nggak selingkuh dan nanti pasti bakal kebukti kalo lu emang nggak salah," ucap Yudi menyemangati sembari menepuk bahu Dipta sekali.

"Tapi aku sudah terlanjur bercerai. Tak ada yang bisa kulakukan sekarang."

Yudi menggeleng. "Kalian bisa rujuk. Gue yakin Aina sebenernya masih cinta sama lo, dan kalo lo bawa bukti yang menyatakan lo nggak bersalah, Aina pasti mau diajak rujuk."

Dipta menghela napas panjang tanpa menjawab. Dia bahkan ragu masih bisa menemui Aina lagi atau tidak setelah ini. Lalu, bagaimana caranya mengajak wanita itu rujuk?

"Terus, mengenai hak asuh anak?"

"Otomatis jatuh ke tangan Aina. Itu sudah ditulis dalam perjanjian pranikah kami. Lagipula jika tidak ada perjanjian pranikah, Aina tetaplah yang akan mendapatkan hak asuh karena anak kami masih dalam kandungannya."

Yudi terlihat mengangguk-angguk. Dipta menatapnya.

"Sudah selesai? Jika sudah, sana pergi. Aku ingin bekerja lagi."

Yudi tercengang. "Astaga, Brother. Gue di sini lagi ngehibur lu, tapi malah lu usir."

"Terima kasih niat baiknya, Yudi. Tapi aku ingin melanjutkan pekerjaanku." Dipta menepuk setumpuk kertas di atas meja, kemudian mengibaskan tangan, menyuruh Yudi keluar.

Jangan Sentuh Saya, Dokter! [PINDAH KE GOODNOVEL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang