Mereka kembali ke rumah keluarga Aina keesokan harinya, setelah menginap semalam di hotel tempat digelarnya resepsi sebelum pindah ke rumah mereka sendiri di Semarang siang nanti. Rumah yang sengaja di beli Dipta untuk ditempati bersama Aina. Rumah itu hanya berjarak beberapa ratus meter dari SMA tempat wanita itu mengajar.
Dipta pikir jika tinggal di apartemennya, akan terlalu jauh bagi Aina untuk berangkat bekerja. Jadi, dia membeli rumah baru yang lebih dekat dengan tempat kerja istrinya. Meski itu berarti dialah yang akan lebih jauh dari rumah sakit, tak apa. Demi Aina.
Selesai sarapan di restoran hotel, mereka segera menaiki mobil yang khusus dipersiapkan untuk pulang. Dipta duduk di balik kemudi sedangkan Aina memilih duduk di kursi belakang, membuat Dipta terlihat seperti seorang supir.
Diliriknya Aina lewat kaca mobil, "Kamu benar-benar mau duduk disitu?"
Aina tidak menjawab, malah melemparkan pandangan ke luar jendela. Membuang muka. Dipta hanya menghela nafas, mencoba bersabar menghadapi istrinya.
Bukankah dari awal dia sudah tahu bahwa Aina memang selalu begitu? Setidaknya, di depannya. Karena jika di hadapan orang lain Aina akan berubah menjadi wanita lembut yang ramah dan murah senyum.
Kembali dialihkannya pandangan ke depan, menyalakan mesin, lalu perlahan mobil pun bergerak meninggalkan tempat parkir hotel.
Tak sampai setengah jam mobil sudah terparkir di halaman. Jelas saja, kedatangan mereka disambut suka cita seluruh penghuni rumah.
Mereka segera masuk lalu menyalami orang rumah satu persatu, kemudian Dipta diajak berbincang oleh ayah mertuanya di teras depan, sedangkan Aina meneruskan langkah menuju kamar, merapikan barang-barang yang akan dibawanya pulang ke Semarang. Di raihnya sebuah koper besar dari atas lemari lalu mulai mengemasi barang-barangnya.
Sebenarnya, tak banyak yang bisa dikemas karena memang selama ini dia juga tidak tinggal di rumah, melainkan di kosnya di Semarang. Justru di sanalah dia akan lebih banyak menghabiskan waktu berberes nanti.
Di tengah-tengah acara mengemas barang, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka, menampakkan sosok sang adik yang tersenyum lebar memasuki kamar. Ah, perasaan Aina tidak enak. Pasti dia akan ditanyai hal tidak penting.
"Mbak, bagaimana malam pertamanya?" Tanya wanita yang sedang hamil itu begitu mendudukkan diri di tepi ranjang.
Benar, kan dugaan Aina. Pertanyaan tidak penting.
Ia mendecih, memutar bola mata malas dan menjawab dengan tatapan kesal, "Apa harus kau menanyakan hal seperti itu sekarang?"
"Harus dong, Mbak. Itu adalah hal pertama yang harus ditanyakan pada pengantin baru." Iva menyengir lebar pada kakaknya. Seolah tak merasa bersalah dengan pertanyaan yang dia ajukan.
"Ck, tidak sopan menceritakan kegiatan kamar kepada orang lain," timpal Aina seraya kembali menyibukkan diri dengan barang-barang di depannya.
"Tapi kan aku adikmu, bukan orang lain," sanggah Iva, yang langsung dibalas dengan tegas oleh Aina,
"Kau orang lain dalam rumah tanggaku." Iva tersenyum penuh arti mendengar ucapan Aina. Ia menepuk bahu kakaknya pelan seraya berkata,
"Hmm ... baiklah. Selama rumah tanggamu baik-baik saja, aku tak akan ikut campur. Berbahagialah."
Sebelum sempat membalas ucapan sang adik, dia menoleh ke arah pintu dan mendapati Bunda di sana. Iva yang mengikuti arah pandang kakaknya segera berdiri begitu sang bunda melangkah masuk. Memberikan waktu untuk bunda dan kakaknya berbicara.
"Mau dibawa semua, Nak?" Tanya Bunda begitu melihat Aina mengosongkan isi lemari. Aina hanya mengangguk tanpa menoleh ke arah bunda.
"Aina, Bunda ingin bicara." Suara lembut itu membuat Aina menghentikan kegiatan dan memutar wajah menghadap sang bunda.
"Iya, Bun," jawabnya dengan tatapan penuh tanya.
"Kamu sekarang sudah menjadi seorang istri, kan?" Aina mengangguk ragu, pandangannya beralih turun menatap jari-jari tangan yang saling bertaut. Dicernanya baik-baik pertanyaan sang Bunda.
Senyuman terbit di wajah Bunda melihat Aina yang menunduk. Diusapnya belakang kepala anak sulungnya itu seraya berkata,
"Kalau begitu, mulai sekarang surgamu tidak lagi terletak pada bunda maupun ayah, melainkan pada suamimu. Ridha Allah tidak lagi berada pada ridha orang tua, melainkan pada ridha suamimu. Dan laknat malaikat pun bukan lagi karena murka orang tua, tetapi karena murka suamimu."
Aina masih diam mendengarkan wejangan sang Bunda.
"Oleh karena itu, taatilah suamimu seperti halnya kamu berbakti kepada ayah dan bunda selama ini. Bunda mengerti apa yang kamu rasakan. Mungkin sekarang kamu belum bisa mencintai Dipta, tak apa. Yang penting jangan keraskan hatimu. Jangan menutup mata terhadap segala kebaikan yang dia lakukan. Dari caranya memperlakukanmu, bunda yakin Dipta adalah laki-laki yang baik dan bertanggung jawab." Senyum bersahaja masih setia menghiasi wajah sang Bunda, dengan tatapan lembut dan penuh kasih.
Aina mengalihkan pandangan membalas tatapan bundanya dengan mata berkaca-kaca, lalu memeluk bunda erat saat kristal bening itu perlahan luruh.
"Aku akan merindukan Bunda," ucapnya di tengah isakan.
"Apa yang kamu katakan? Seperti baru pertama kali jauh dari Bunda saja." Bunda tertawa lirih mendengar ucapan anaknya, sambil berusaha menahan air mata.
"Lanjutkanlah mengemas barangnya. Dipta sudah menunggu." Bunda mengingatkan seraya mengurai pelukan.
//
Mobil terparkir di halaman rumah di kawasan salah satu perumahan elit di Semarang. Rumah minimalis dengan desain modern berwarna abu-abu hitam putih itu terlihat begitu elegan.
Terdapat hamparan rumput yang memisahkan jalan dengan paving depan, sementara di halaman belakang berbatasan langsung dengan lapangan. Pohon-pohon yang menjulang di sekeliling rumah, sepasang pohon palem di sisi kanan dan kiri halaman, serta beberapa tanaman hias menambah kesan asri bangunan berlantai dua itu. (Lihat Multimedia).
Iris kecoklatan Aina melebar, menatap puas rumah yang begitu sesuai dengan keinginannya. Sebelumnya Dipta memang sempat menanyakan rumah seperti apa yang diinginkan Aina. Lalu dia pun menyebutkan kriterianya. Tak disangka, Dipta bisa menemukan rumah persis seperti yang ia impikan.
Dipta berjalan ke arah pintu masuk. Tangan kirinya menyeret koper sedang tangan kanan menenteng tas besar. Aina mengekor di belakang sambil membawa kardus berisi buku-buku.
Sampai di dalam, Aina termangu di ruang tamu mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Sementara Dipta langsung naik menuju kamar mereka. Meletakkan koper dan tas Aina, lalu turun lagi meraih kardus di tangan Aina, berniat membawanya ke kamar.
"Kamu tidak ingin melihat kamar kita?" Tanya Dipta saat melihat Aina mematung di depan pintu masuk.
Wanita itu mengernyitkan dahi, "Kamar kita?" Dipta mengangguk.
"Kenapa kita satu kamar?" Tanyanya lagi dengan nada suara yang meninggi.
Dipta mengedikkan bahu, "Karena kita suami istri," jawabnya santai sambil mengerling nakal lalu melenggang menaiki tangga, masuk ke kamar.
Aina terperangah tak percaya. Dengan kaki dihentak dia menyusul Dipta ke kamar mereka. "Hei, yang benar saja! Saya tidak mau sekamar dengan anda! Kita kan sudah jauh dari orang tua, kenapa masih satu kamar?" Protesnya.
Dipta menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya pelan sebelum bertanya, "Mama pasti akan sering ke sini. Kamu mau jawab apa saat Mama bertanya kenapa kita pisah kamar?"
Aina menggigit bibir. Memutar otak mencari alasan yang tepat. Namun, sampai hening beberapa saat dia tetap tidak menemukan alasan apapun. Alhasil, dengan terpaksa dibukanya koper hitam itu lalu memasukkan isinya ke dalam lemari, di kamar mereka.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Sentuh Saya, Dokter! [PINDAH KE GOODNOVEL]
RomanceWarning : 18+ (Beberapa part berisi konten dewasa. Bijaklah dalam memilih bacaan) SEBAGIAN BESAR PART TELAH DIHAPUS. PINDAH KE GOODNOVEL UNTUK BACA SELENGKAPNYA. * Tak pernah terlintas di benak Aina Zavira bahwa dia akan menikah, apalagi dengan laki...