LH[48]

1.6K 126 5
                                    

HAPPY READING💚💚💚

Kehadiran seseorang pada masa-masa sulit merupakan anugerah bagi setiap orang. Kita merasa ditemani. Merasa ada sosok lain yang mendukung diri ini agar mampu berjalan dengan perlahan.

Percayalah, menyentuh seseorang dimasa-masa tersulitnya akan membuat orang itu mensugesti dirinya sendiri bahwa kita adalah orang baik. Semudah itu? Mungkin iya. Karena, mereka butuh penopang atau tempat bersandar walau sejenak.

Emosi yang tidak stabil itu butuh peredam. Butuh didengar, dimengerti, dan diberi pengertian. Nyatanya tidak semudah itu, kan?

Aku mengerti bahwa lambat laun, pertemuan-pertemuan singkat ku dengan Angkasa juga akan menghadirkan sugesti semacam itu. Angkasa hadir disaat-saat krusial dalam hidup ku. Menemani ku, mengajak ku berbicara, dan memberi nasihat dalam kalimat sarkasnya.

Aku...seperti menemukan teman lainnya. Seseorang yang seolah lebih mengerti diri ku dibandingkan Jena. Sebut saja aku durhaka pada Jena. Namun, begitulah rasanya.

Angkasa tidak pernah bertanya tentang masalah ku. Seperti katanya 'buat apa? Gue gak bisa bantu'. Saat itu aku tertegun mendengar jawabannya. Disaat orang lainnya sangat ingin mendengarkan, dia tidak.

Angkasa. Entah bagaimana aku harus menggambarkan sosoknya. Dirinya punya batasan tertentu. Batasan yang ditetapkannya untuk semua orang termasuk diri ku.

"Mau cepet tua, heh?" pertanyaan sarkas itu menyentak lamunan ku.

"Huh..." mata ku mengerjap beberapa kali. Menatap Angkasa yang berdecak keras.

"Makan" ucapnya seraya memindahkan semangkok mie kuah kehadapan ku.

Aku mengangguk pelan. Melihat mie kuah yang menggugah selera serta beberapa sosis dan kornet goreng dengan tatapan lapar. Angkasa ini tau saja...

"Angkasa baik banget deh, makasih" ucap ku disertai senyum manis. Mata ku masih terasa sedikit berat.

Angkasa hanya mengangguk pelan. Ia telah mulai menyantap makanan yang sama dengan ku.

Oh iya, saat ini aku berada di apartemen Angkasa. Setelah acara tangis-menangis tadi selesai, Angkasa tetap mengajak ku belanja bulanan. Lalu, disinilah aku sekarang dengan mata sedikit bengkak dan baju yang telah berganti dengan kaos hitam milik Angkasa.

Aku bergerak ke arah kulkas guna mengambil air minum. Apartemen ini serasa milik ku sendiri. Lihatlah pemiliknya yang santai-santai saja dengan sikap ku.

Ku tuangkan air putih ditangan ku ke dalam dua gelas. Menyodorkan salah satunya pada Angkasa. Lalu, mulai menyantap dalam diam. Disela makan ku, aku meletakkan potongan sosis atau kornet ke atas sendok milik Angkasa. Sebuah tindakan yang biasa aku lakukan pada Bagas dan Samudra.

Angkasa melirik ku singkat ketika, aku melakukannya. Namun, tidak berucap apa-apa. Aku menggigit bibir ku pelan. Malu. Bisa-bisanya aku melakukan hal ini.

Angkasa menggoyangkan sendoknya keatas-bawah saat aku tak kunjung menyumpitkan potongan sosis ke atas sendoknya. Tanda bahwa dirinya tidak keberatan.

"Angkasa, apa kamu tahu kalo aku udah tunangan?" tanya ku akhirnya. Jujur aku penasaran dengan hal satu ini.

Angkasa menghentikan suapannya. Manik hazelnya menatap mata ku. "Ini terlalu jelas" ucapnya seraya menyentuh ringan jari manis ku yang dihiasi cincin pertunangan ku dengan Samudra.

"Lalu..." alis ku berkerut.

"Itu hukuman, bukan?" sahutnya seolah tahu apa yang akan ku ucapkan.

Lara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang