LH[6]

2K 144 1
                                    

Benci bukan sejenis tanaman yang harus kamu pupuk agar terlihat indah dan menghasilkan buah yang bagus.

🎗️🎗️🎗️

Saat pikiranku kacau atau ada suatu hal yang berjalan tidak sesuai dengan keinginan, di saat itu aku merindukan sosok Mama. Mama yang telah membawaku ke dunia ini. Mama yang selalu memiliki ruang khusus dalam hidupku. Makanya, aku berangkat pagi-pagi sekali hari ini.

Kediaman Mama dan keluarga barunya tidak searah dengan jalan ke sekolah. Jadi, aku harus merelakan sarapan atau pun bekal ku hari ini. Aku keluar rumah saat, anggota keluarga lainnya masih sibuk di kamar masing-masing. Aku hanya pamit pada Bi Asih dan Mang Udin.

Aku tersenyum riang saat membayangkan ekspresi wajah Mama  ketika, mengantarkan suami dan Tiana -anak perempuan Mama dan Ayah Rudi-, ke dalam mobil. Aku hanya melihat dari kejauhan untuk itu aku hanya mampu melihat ekspresi bahagia Mama kepada dua anggota keluarga barunya. Aku tidak mungkin menunjukkan diriku dihadapannya. Mama tidak akan suka itu.

Dengan melihat kehidupan bahagia yang Mama jalani, sudah cukup bagiku. Setidaknya ada orang lain yang mampu membuat Mama
tertawa dan tersenyum. Pastinya bukan aku.

Semenjak masuk SMA, aku berusaha meminimalisir rasa sakit yang mungkin kuterima. Karena, suatu kejadian yang membuat ku takut kehilangan diriku. Kalian tidak akan mengerti itu. Rasa depersonalisasi.

Lupakan tentang depersonalisasi yang kurasakan. Karena, saat ini aku sudah berada beberapa meter dari kediaman berlantai dua milik keluarga baru Mama. Beruntungnya kompleks rumah Mama banyak pohon-pohon besar yang berjajar rapi di sepanjang jalan. Jadi, tidak perlu susah-susah mencari tempat persembunyian.

Seulas senyum terus terukir di wajahku. Menanti beberapa menit sebelum keluarga kecil Mama keluar rumah.

"Mama" ucap ku saat melihat wanita paruh baya bergaun floral keluar bersamaan dengan seorang gadis mengenakan seragam putih-biru. Tidak lama terlihat Ayah Rudi di belakang kedua perempuan kesayangannya.

"Mama, Sandra disini buat liat Mama" aku bergumam dengan tatapan terfokus pada aktivitas keluarga kecil itu. Hampir sama dengan di rumah Papa. Dimana Bunda akan mengantar Papa sampai halaman rumah. Salaman dan cium kening ala suami-istri harmonis pada umumnya.

"Mama yang sehat, ya" aku kembali menaiki motor matic merah kesayanganku.

"Sandra sayang Mama" ucapku sebelum berlalu.

Semudah itu rasa rinduku terobati. Cukup melihatnya bahagia dari kejauhan. Tanpa sapaan. Tanpa pelukan. Aku tidak mau egois dengan menampakan diriku dihadapannya. Sudah cukup rasa sakit yang ku bawa untuknya. Mama pantas bahagia walau, bukan aku sumbernya.

Tidak apa, semuanya akan baik-baik saja.

Aku menepikan motor matic kesayanganku ini saat merasakan ada yang tidak beres pada ban depan.

"Yah ban-nya kempes lagi, bocor apa gimana ini" ucap ku seraya turun dari motor kesayanganku.

Aku baru saja keluar dari kompleks perumahan Mama. Sialnya aku tidak terlalu paham daerah sekitaran perumahan ini. Jadi, aku tidak tahu dimana letak tukang tambal ban. Bisa gawat jika, membolos di hari ketiga awal masuk sekolah.

"Mbak boleh tanya tau tempat tambal ban, gak?" tanya ku pada seorang wanita yang baru saja turun dari angkot di dekat ku.

"Ehm, kalo dari sini sih masih jauh Dek, lima kiloan lah dari sini" jawabnya ramah.

"Mati gue" gumamku pelan.

"Gimana, Dek?" tanya mbak-mbak itu yang sepertinya mendengar gumaman ku.

Lara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang