LH[35]

1.6K 103 5
                                    

HAPPY READING ♥️♥️♥️

Angkasa Melviano, lelaki bermanik hazel yang memiliki tatapan misterius. Lelaki berpredikat 'bahaya' yang nyatanya berperilaku baik pada ku. Ya, meski tidak dapat dikatakan bahwa Angkasa bersikap baik sebagaimana interaksi seorang teman sekelas pada umumnya. Karena, dia tetap lelaki ketus dengan pemikiran abstrak.

Aku memang baru mengenalnya dan tidak pernah melihat sisi berbahaya yang disematkan padanya. Bagi ku dari awal pertemuan kami, Angkasa adalah lelaki yang baik dengan caranya sendiri.

Cara bicaranya yang singkat, dingin, dan sarkatis, tidak membuat ku merasa risih di dekatnya. Dan, entah kenapa aku tidak masalah dengan sikap semena-menanya. Aku mungkin penganut 'kesan pertama seseorang menunjukkan sikap asli mereka'.

Bolehkah ku katakan bila aku termasuk dekat dengan Angkasa? Kami selalu bertemu disaat-saat tidak terduga. Lebih tepatnya, Angkasa selalu menemukan sisi menyedihkan diri ku. Hal yang tanpa sadar membuat ku lebih nyaman dengan lelaki bermanik hazel. Dia menghibur ku dan mengalihkan pikiran ku walau, sesaat.

Bertemu Angkasa seperti tadi siang dimana, posisi kami seolah terbalik menggugah ku untuk menemani dan merawatnya. Tapi, sikap ketusnya, tepisan tangannya, dan pengusirannya tadi sangat mengejutkan. Ia terlihat terganggu dengan kehadiran ku.

Alih-alih merasa tersinggung, aku malah menuruti keinginannya dan menyimpan kekhawatiran.

Di apartemennya itu, tidak ada sebingkai foto pun. Suatu hal yang membuat ku berpikir bisa saja, orangtuanya telah meninggal. Atau, hubungannya dengan kedua orangtuanya seperti hubungan ku dan orangtua ku. Suasana apartemennya terlalu dingin dan kosong untuk ukuran apartemen yang sering dikunjungi. Intinya, Angkasa tinggal sendiri disana.

Aku semakin memikirkannya. Memang Angkasa telah meminum obat penurun panas sebelum, ku tinggal pulang. Namun, apakah obat itu bereaksi dengan baik atau tidak, aku tidak mengetahuinya. Pikiran ku kusut.

Gimana kalo panasnya semakin tinggi?

Pertanyaan itu terus berputar di kepala ku. Angkasa pasti bisa mengurus dirinya sendiri, kan? Ia tidak akan mati hanya karena demam, kan?

Hell with that, Sandra!!!

He's to strong to die

Don't overthinking!!!

But, how can?

He's...

"Hell you!" umpat ku tanpa sadar.

"Atuh si Enon teh kenapa? Aya naon? Gelisah gitu dari tadi Bibi perhatiin?" mata ku mengerjap pelan. Menggaruk pipi kiri ku yang tidak gatal. Menggeleng pelan disertai ringisan.

"Temen Sandra sakit, Bi, mana tinggal sendiri lagi, ya...rada khawatir aja" jawab ku seraya kembali menonton Bi Asih yang sedang memasak makan malam.

Bunda sedang pergi keluar. Arisan kalau tidak salah. Makanya hanya ada Bi Asih di dapur. Aku tidak membantunya memasak karena, mana mau Papa memakan masakan ku. Bisa ribut lagi kami.

"Non Jena, ya, Non?" tanya Bi Asih. Wanita paruh baya ini melirik ku disela mengiris bawang.

"Bukanlah, Bi, kalo Jena yang sakit mah gak usah khawatir soalnya ada Kak Tera"

"Hehehe...iya-iya Non, Non Jena kan tinggal sama tetehnya, mana dokter lagi pasti pinter ngerawat adiknya, lupa Bibi mah" aku tersenyum tipis mendengar ucapan Bi Asih.

Jena yang punya Kakak dokter aja gitu pemikiran orang kalo dia sakit, apa kabar gue yang punya bokap dokter? Boro-boro dirawat, liat gue udah kayak mayat hidup aja doi gak peduli, miris amat lo, San-san.

Lara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang