LH[49]

1.6K 128 9
                                    

HAPPY READING💚💚💚

Dari awal pilihan itu memang tidak pernah ada untuk ku

🎗️🎗️🎗️

.

.

.

.


Rumah sudah seharusnya menjadi tempat ternyaman. Seharusnya juga menjadi tempat teraman. Ya, seharusnya begitu...

Untuk ku rumah bukanlah tempat seperti yang telah ku sebutkan. Rumah menjadi arena bertarung. Tempat pertama yang membuat ku gelisah. Aku terintimidasi karenanya.

Aku terlalu kecil. Terlalu sendiri.

Dengan pemikiran dan perasaan semacam itu, kurasa insomnia yang ku alami memanglah hal yang wajar. Aku...sudah berusaha mensugesti diri bahwa rumah yang ku tinggali adalah tempat yang aman dan nyaman. Tapi, percuma saja.

Aku selalu gelisah. Semacam perasaan tersisihkan terus ku rasakan. Ini tidak baik tentu saja. Aku jadi sering kehilangan konsentrasi. Melamunkan hal-hal yang tidak penting.

Aku menghembuskan napas lelah seraya merenggangkan tubuh yang terasa lelah. Banyak sekali tugas yang belum ku kerjakan. Belum lagi, tangan kanan ku yang masih sakit harus ku paksakan menulis.

Melihat punggung tangan kanan ku yang terbalut perban tipis, aku teringat akan ucapan Angkasa saat mengantar ku pulang.

"Ini...gak perlu dilakukan, sweety pie" ucap Angkasa seraya mengelus punggung tangan kanan ku pelan.

Tatapannya terfokus pada manik mata ku. Aku hanya mampu terdiam mendengar ucapannya. Ku pikir dia tidak akan membahasnya. Tapi...

"Rasanya tidak melegakan, bukan" senyum itu, senyum setengah malaikat dan iblis khasnya terukir dengan jelas.

Aku menyentuh dada ku yang berdetak lebih cepat. Ada rasa sakit yang kurasakan disana. Sama sekali bukan kelegaan.

"Bagaimana dia bisa tahu?" gumam ku seraya menatap ke arah langit malam.

Jika ku pikir-pikir lagi, rasanya Angkasa sangat mengerti diri ku. Ini sedikit mengerikan. Entahlah...rasanya ada yang tidak benar. Disisi lainnya aku merasa bersyukur. Dua hal yang berlawanan ku rasakan pada saat bersamaan.

Apa mungkin ucapan Eko mempengaruhi diri ku?

Aish...

Aku mengambil tumbler biru yang terletak diatas meja. Bangkit dari duduk ku kala menyadari isinya kosong. Aku mengenakan sweater kebesaran milik ku sebelum keluar kamar. Seperti biasa aku selalu mengunci pintu kamar ku.

Melangkah santai. Suasana rumah telah sepi. Lampu-lampu pun telah mati. Kata Bi Asih, semua orang rumah pada pergi. Kemungkinan akan kembali besok pagi.

Aku menghentikan langkah kaki di ruang tengah. Perjalanan ku terhenti saat melihat ruang kerja Papa yang terang diantara gelapnya ruangan. Terdengar suara perdebatan dari sana.

"Bukankah semua orang pergi? Apakah sudah pulang?" aku sangat ingin mengabaikan hal itu tapi, apalah daya ketika mendengar suara pecahan barang langkah kaki ku begitu lancar ke arah asal suara.

Pintu yang tidak tertutup rapat membuat ku mampu melihat sedikit keadaan di dalam sana. Terlihat pecahan vas bunga kesayangan Papa tercecer diatas lantai.

Ada apa???

"Papa gak bisa memasukkan Sandra sebagai calon pemimpin rumah sakit kita!!!" suara keras itu terdengar sarat akan emosi.

Aku meneguk ludah ku dengan susah payah. Genggaman pada tumbler menguat. Tubuh ku membeku. Tak ingin beranjak walau akal ku menyerukan sebaliknya.

Perasaan tak enak mulai menyeruak. Aku sudah sangat gelisah. Seolah akan terjadi hal besar nantinya.

Ini tidak akan baik

"Memangnya kamu punya hak untuk membantah!" Kakek berseru dingin. Aku dapat membayangkan wajahnya yang mengeras itu pasti sangat mengerikan.

"Perilaku semacam ini akan sampai kapan kamu pertahankan, Adimas" jelas sekali bahwa kalimat itu bukanlah sebuah pertanyaan.

"Tapi, Pa..."

"Mau bilang bahwa Sandra bukan anak yang lahir dari orang yang kamu cintai, kamu pikir Papa tidak tahu? Cih, jelas sekali kamu sudah mencintai Marissa saat itu" aku menggigit bibir ku keras. Terasa sangat terpukul mendengar perkataan itu. Lalu, apa alasannya...? Kenapa bisa?

"Rasa bersalah kamu terhadap Andin membuat mu menjadi bodoh, bukan? Apakah menyenangkan menyayangi anak orang lain?"

"A-apa m-mak..."

"Erika bukan anak mu, Papa sudah tahu dari lama dan kamu tetap menjaga Sandra disisi mu agar bisa mendapatkan warisan, kamu pikir Papa tidak mengenal kebodohan mu itu?"

Pijakan ku mulai goyah. Aku terhuyung. Berpegang pada dinding. Kenyataan ini begitu menghantam ku.

Jadi, ini lah jawabannya...

Ku kira rasa rendah diri yang selalu ku tunjukkan adalah keharusan. Rasa bersalah akan segala hal yang terjadi adalah kewajiban. Karena, semua memang salah ku.

Ku kira...

Apa ini...

"HAHAHA...." aku tertawa hambar. Tumbler ku jatuh. Menimbulkan suara nyaring di ruang yang sunyi. Suara langkah kaki mendekat dengan tergesa terdengar jelas.

Aku terus tertawa dengan tangan menepuk-nepuk dada ku yang terasa teramat sesak. Kepala ku terasa amat pening.

"Sandra" panggil Kakek dengan raut terkejut yang sangat jelas. Begitu juga dengan Papa yang berdiri mematung memandang ke arah ku.

"Selamat, Pa..." aku menghela ucapan ku kala ku rasakan oksigen sangat sulit untuk ku hirup.

"Sandra, bernapas dengan benar..." Kakek melangkah mendekat namun, aku dengan cepat menjauh dari jangkauannya. Tatapan mata ku menghunus seseorang yang berdiri disebelahnya.

"Kali ini Papa benar-benar berhasil mengusir, Sandra" tepat setelah mengatakan hal itu dunia ku menggelap. Membawa sakit dan luka yang sudah membusuk bersama.

















































Mungkin kematian tidak lebih buruk dari ini...


🎡🎡🎡

Jumat, 1 Oktober 2021

Jangan lupa vote-comment, yak!!!

Share juga cerita ini ke temen² kalian biar banyak yang baca dan aku semakin semangat update-nya

See you😘😘😘

Lara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang