Dia, sahabat ku
Yang mewarnai hari-hari di masa
Putih abu-abu🎗️🎗️🎗️
Saat ini aku sedang berada di apartemen milik Jena. Sahabat ku ini merengek kesepian berada di apartemen sendirian. Karena, kakak perempuannya sedang mengikuti seminar di luar kota.
Jena memang tinggal dengan kakak perempuannya. Bukan karena, kedua orang tuanya bercerai seperti ku lalu, kedua saudara ini memilih tinggal berdua di apartemen. Hal ini terjadi karena, kakaknya Jena (kak Tera), diterima bekerja di salah satu rumah sakit swasta Jakarta. Orang tua Jena yang tinggal di Semarang menyuruh putri bungsunya itu turut serta pindah ke ibu kota menemani kakaknya.
"Gue sebelum Maghrib udah harus di rumah Je, lo beranikan gue tinggal" ucap ku setengah berteriak dari pantry.
Sahabat ku itu sedang asik menonton televisi. Sedangkan, aku harus memasak untuk makan malamnya. Entah ada angin apa sahabat ku itu meminta dimasakkan ayam kecap. Padahal lebih mudah jika, ia memesan makanan cepat saji. Tapi, sudahlah turuti saja keinginan perempuan penggemar makan itu.
"Berani lah Jena gitu" jawabnya semangat yang menyambut dengusan malas dari ku.
Aku tinggal menunggu beberapa menit lagi sampai masakan ku ini siap makan. Aku menngeluarkan ponsel dari saku rok yang aku kenakan. Menghela napas pelan saat, tidak menemukan balasan dari tunangan ku.
Jemari tangan ku mulai memutar-mutar ponsel yang berada dalam genggaman. Menimbang-nimbang haruskah aku kembali mengirimi Samudra sebuah pesan. Aku menggeleng cepat, tidak ingin mengganggu kesibukannya. Helaan napas kembali terdengar.
"Gak di bales" aku berjengit kaget mendengar seruan tepat di sebelah telinga. Dalam gerakan cepat ku simpan ponsel ku ke dalam saku rok.
Jena meneguk air dingin di tangannya dengan tatapan yang mengarah pada ku. Menuntut jawaban akan pertanyaannya. Aku menggeleng pelan disertai senyum lebar. Lalu, kembali mengaduk ayam kecap buatan ku.
"Samudra lagi sibuk kayaknya soalnya hari ini ekskul futsal latihan" terdengar decakan keras dari balik punggung ku.
"Lo pikir dia gak bales chat lo karena, sibuk latihan?" tanya Jena sarkatis.
Spatula yang berada dalam genggaman ku rasanya hampir terlepas. Ucapan Jena selalu se-logis itu mengenai hubungan ku dengan Samudra. Bukan untuk menyakiti hati ku. Sebaliknya, membantu ku untuk terus waspada dengan hubungan pertunangan ku. Aku mematikan kompor seraya membalik tubuh ku, menghadap penuh ke arah Jena yang tengah duduk di kursi bar.
"Banyak kemungkinnannya sih, misalnya hp nya lowbat atau Samudra emang lagi gak pegang hp, bisa aja, kan?" jawab ku berusaha berpikiran positif.
Kali ini, aku mendengar dengusan geli sahabat ku. "Lo terlalu berpikiran positif bukannya gue mau nyakitin lo, San, but please don't being stupid, Samudra itu gak beneran tinggal di Arktik sana untuk gak ketemu orang yang punya charger or powerbank " ucap Jena menggebu.
Aku tertawa kecil melihat raut wajah ngotot sahabatnya. Jena terlalu menggemaskan untuk marah-marah. Sangat tidak cocok dengan wajahnya yang imut itu. Berbeda dengan ku yang katanya memiliki wajah jutek.
"Jangan ketawa kalo dikasih tau, Lo cantik, pinter, baik, gak susah buat Lo cari cowok yang lebih-lebih-lebih dari Sam" aku menggeleng pelan dengan menghentikan tawa.
"Tapi, mereka bukan Samudra Airlangga Aldinata si Samudra Arktik nya gue" jawab ku dengan nada memuja.
Di luar sana mungkin ada banyak cowok yang lebih baik dari Samudra seperti ucapan Jena. Tapi, mereka jelas bukan Samudra yang ku kenal. Samudra yang dipertemukan dengan ku karena, perjodohan. Samudra yang mampu membuat ku bertekuk lutut dihadapannya. Lalu, bagaimana caranya agar aku mampu melepaskannya? Dia, sesuatu yang aku ingin miliki, setelah semua keinginan akan ketulusan kasih sayang Papa dan Mama yang tidak bisa ku dapatkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lara
Teen Fiction* FOLLOW ME FIRST❤️❤️❤️ *[DON'T COPY MY STORY!!!] *[DON'T BE SILENT READER!!!] Apakah aku tidak terlihat hingga terus diacuhkan? Apakah aku tidak berharga hingga terus dikorbankan? Aku disini, berdiri diantara kalian yang selalu mengacuhkan. cove...