Kehadiran mu bagaikan takdir yang terlukis indah di kehidupan suram yang ku jalani.
🎗️🎗️🎗️
Bel pertanda istirahat menggema di seluruh penjuru koridor SMA Pembangunan Bangsa. Para guru mengakhiri kegiatan belajar mengajar mereka. Mengerti akan kebutuhan siswanya. Begitu pula dengan guru Sosiologi yang segera mengakhiri materinya hari ini di kelas ku.
Sorakan girang terdengar cukup keras di ruang kelas ku ini. Maklum rata-rata penghuninya merupakan kaum adam yang hobi berdebat. Sosok-sosok yang jelas menggambarkan bahwa mereka anak sosial.
Melihat guru yang mengajar telah keluar ruangan aku bergegas membereskan meja. Lalu, mengeluarkan wadah makan yang telah ku siapkan tadi pagi. Aku ingin membaginya dengan seseorang. Seseorang yang menyematkan cincin emas putih di jari manis ini.
"Gercep amat, mau kemana? Temuin, Sam?" Jena memberondongku dengan pertanyaan. Rupanya sahabat ku ini memperhatikan.
Aku menoleh ke arahnya yang, duduk tepat di meja sebelah kanan. Menunjukkan cengiran lebar, aku mengangkat wadah bekal ku hari ini. Jena mengangguk samar dengan raut cemberut. Pasti karena, aku tidak bisa menemaninya ke kantin.
"Berarti gak bisa temenin gue makan dong" ucapnya.
"Sorry, eh...bentar-bentar, bukannya lo lagi diet, ya hari ini " balas ku seraya menatapnya dengan mata menyipit.
Menurut ku tidak ada yang salah dari bentuk tubuh Jena. Tubuh dengan tinggi 158 cm dan berat badan 50 kg itu terasa pas baginya. Tapi, sahabat ku ini merasa bahwa tubuhnya terlalu gendut. Terkadang Jena mengeluh susah bergerak lah, susah menarik napas lah, atau terlalu berat membawa badannya sendiri. Jika dinasehati, dirinya akan memberikan seribu alasan yang membenarkan opininya. Jadi, dukung saja tindakannya itu. Lagi pula, aku tahu Jena tidak akan bisa menerapkan program dietnya itu. Kenapa? Karena, bukan Jena namanya kalau tidak hobi makan.
"Gue lupa hari ini ada pelajaran matimatika " jawabnya enteng.
"Koherensinya dimana, coba? Diet mah kalo udah niat bakal tetep lanjut, terima nasib aja, ya, baby embul " ucap ku dengan senyum meledek seraya mencolek gemas pipi Jena yang chubby.
"Jangan panggil gue baby embul, lo bukan emak gue" balasnya galak.
Aku tertawa seraya bangkit dari duduk. Berlari meninggalkan kelas setelah, melambaikan tangan kepada Jena. Oh iya, baby embul merupakan panggilan masa kecil sahabat ku itu. Sesuai panggilannya, Jena memang se-embul itu waktu kecil. Aku sampai tertawa setiap kali singgah di rumahnya yang memajang foto bayinya di ruang keluarga.
Aku berjinjit saat akan melewati kelas XII IPA 1. Berusaha melihat aktivitas di dalam kelas dengan julukan 'kelas Einstein'. Seperti dugaan ku di dalam kelas ini masih ada sosok pengajar. Aku memutuskan untuk bersandar di sebelah pintu kelas. Kedua sudut bibir ku tertarik begitu saja ketika, melihat wadah makan dan cincin di jemari manis ku. Ada euforia tersendiri yang kurasakan saat ini. Belum sampai lima menit aku kembali berjinjit ke arah jendela kelas.
Disana aku melihatnya. Sosok yang menjadi tunangan ku selama dua tahun belakangan. Sosok yang perlahan mampu meraih tahta tertinggi di hati ku. Sosok yang terlalu mudah meraih atensi ku. Dia, Samudra Airlangga Aldinata. Si Samudra Arktiknya sekolah ini.
Lelaki berperawakan tinggi tegap. Wajahnya terpahat sempurna dengan rahang tegas, bibir kemerahan, hidung mancung, manik cokelat gelap, serta alis tebal yang sedikit menukik ke atas. Belum lagi kulit putihnya menambah nilai plus dari pesona sang samudra Arktik. Namun, dibalik semua kesempurnaannya Samudra terlalu dingin untuk disentuh seperti julukan yang tersemat padanya. Bibirnya selalu membentuk garis lurus. Nyaris tidak ada tanda bahwa tunangan ku ini pernah tersenyum. Samudra memanglah sedingin itu dengan ku sekalipun. Seulas senyum lebar lelaki itu rasanya berharga sangat mahal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lara
Teen Fiction* FOLLOW ME FIRST❤️❤️❤️ *[DON'T COPY MY STORY!!!] *[DON'T BE SILENT READER!!!] Apakah aku tidak terlihat hingga terus diacuhkan? Apakah aku tidak berharga hingga terus dikorbankan? Aku disini, berdiri diantara kalian yang selalu mengacuhkan. cove...