LH[7]

1.8K 135 2
                                    

Sikap datar itu entah mengapa terasa berbeda, tidak ada denyut nyeri disana
Terasa benar namun, mengesalkan.

🎗️🎗️🎗️

Tidak ada pembicaraan selama perjalanan menuju sekolah, membuat perjalanan ini terasa sangat lama. Aku yang tidak mengenal lelaki ini tentu saja, tidak tahu harus memancing obrolan seperti apa. Ditambah sikap datarnya itu semakin membuatku memilih bungkam. Kan, gak enak dikacangin orang yang baru dikenal.

Aku yang berniat turun di halte dekat sekolah menepuk bahu lelaki ini. Sedikit memajukan tubuhku agar ia dapat mendengar teriakanku yang berlomba dengan suara knalpot motornya.

"Gue turun disana aja" teriakku menunjuk ke arah halte dekat sekolah.

Bukannya memelankan laju motornya, lelaki ini malah menarik gas-nya untuk menambah kecepatan. Aku berdecak sebal disertai gerutuan. Bisa gaduh satu sekolah melihatku dibonceng cowok lain. Mereka tahunya aku ini tunangan tercintanya Samudra. Tapi aku juga tidak mungkin melompat dari atas motor ini, kan? Masalahku memang banyak namun, mati konyol tidak termasuk dalam penyelesaian masalah yang ku pilih.

Aku menutupi wajahku dengan tangan dalam posisi menunduk saat memasuki gerbang sekolah. Lalu, segera beranjak turun dengan keberanian yang entah ku dapat darimana. Melangkahkan kaki menjauh dari parkiran hingga, sebuah suara menghentikan langkahku.

"Oi..." Panggil suara datar yang terdengar lebih jelas. Aku yakin itu pasti suara lelaki tadi.

Aku membalikkan tubuh masih dengan tangan menutupi wajah. Parkiran sedikit lenggang pagi ini. Mungkin mereka lebih memilih parkiran belakang.

Aku menaikkan sebelah alis saat melihat penuh rupa lelaki yang tadi menolongku. Tampan dan berkarisma. Rasanya tidak mungkin lelaki dengan wajah khas playboy sepertinya tidak terkenal di sekolahku. Ya, walaupun sikap datar itu bisa menjadi pengurangan poin untuk mendekatinya. Eh, Samudra yang sedingin es saja banyak penggemarnya. Apalagi lelaki ini.

"Lo ini lemot ternyata" aku mengerjakan mata beberapa kali. Menatapnya yang telah berdiri beberapa langkah dihadapanku.

"Enak aja" sanggahku cepat. Terdengar decakan yang membuatku mendelik ke arahnya.

"Kenapa manggil-manggil gue?" tanya ku berusaha galak.

"Gak sopan" ucapnya disertai dengusan.

Aku terdiam. Benar juga ucapannya. Aku ini sudah ditolong tapi, langsung nyelonong pergi. Eh, dia juga salah sih. Aku kan minta diturunkan di halte, malah dibawa masuk sampai area sekolah. Aku menghela napas. Toh, dia aja gak tau siapa aku.

"Makasih tumpangannya dan motor gue entar gimana, ya?" aku bahkan baru teringat dengan nasib motorku.

"Pulang sekolah bareng" jawab lelaki bermanik hazel tanpa menanggapi ucapan terima kasihku. Coba lihat siapa yang lebih tidak sopan disini.

"Gue..."

"Tunggu di parkiran" aku melongo melihatnya langsung berlalu begitu saja dari hadapanku.

Manik mataku menyipit melihat tubuh jangkung itu menghilang di kerumunan siswa. Menghentakkan kaki kesal saat menyadari betapa menyebalkannya lelaki itu. Tanganku yang awalnya ingin menggenggam erat rok abu-abu yang kukenakan urung ketika menyadari ada kain lain di pinggangku.

"Hoodie cowok itu belum gue balikin lagi, ah ngeselin banget kalo gini mah" aku melepaskan ikatan hoodie hitam milik malaikat jadi-jadian itu.

Mana aku lupa melihat name badge pada seragam yang dikenakannya. Itu juga mengingatkanku bahwa aku tidak mengenal lelaki itu begitu pun sebaliknya. Apa aku tanya Jena saja, ya? Walau terkenal galak, Jena sangat tahu seluk-beluk sekolah beserta penghuninya. Apalagi dengan tampang fakboy seperti lelaki serba hitam itu. Pasti Jena tahu.

Lara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang