LH[12]

1.6K 126 2
                                    

Apa yang ku takutkan benar-benar terjadi? Samudra lebih diam dari hari biasanya. Saat aku masuk ke mobilnya pun lelaki itu tidak mengalihkan perhatiannya sama sekali. Padahal dirinya lah yang mengusulkan untuk menjemputku.

Ada rasa sesal mengungkapkan isi hati ku padanya semalam. Namun, di lain sisi aku lega. Lega setelah mengeluarkan unek-unek yang selalu ku pendam. Jika Samudra berpikir aku terlalu banyak menuntutnya, maka lelaki itu salah mengartikan suara hati ku semalam. Karena, aku hanya ingin dia tahu bahwa aku bukan sebuah beban yang akan menghalangi langkahnya. Mungkin terdengar terlalu naif, tapi aku akan melepasnya saat dia tidak menginginkan ku lagi.

Hei, jangan menghakimi pemikiran ku!!! Bukankah sudah ku katakan, aku akan meminimalisir segala rasa sakit yang ku rasa. Aku tidak ingin mengalami hal itu lagi. Lagi pula, siapa sih yang tidak ingin selalu bersama orang yang dicintainya? Aku pun sama, aku ingin selalu bersama Samudra. Bahagia bersamanya dan menua bersamanya. Tapi, aku bukan Tuhan yang dapat mengatur skenario kehidupan. Aku cukup sadar bahwa tidak semua orang dapat bersama orang yang mereka cintai. Contohnya aku dan kedua orangtua kandung ku. Sebesar apa pun rasa cinta ku untuk mereka, mereka gak benar-benar bersamaku dalam arti saling mengasihi.

Aku ingin berlaku egois. Memaksa Samudra untuk membalas perasaanku. Bukankah, kedua orangtuanya sangat mendukung hubungan kami. Lalu, kenapa? Mereka kan orangtuanya bukan Samudra nya. Sekuat apa pun aku ingin berlaku egois padanya, sekuat itu lah rasa ingin meluluhkan hatinya dengan cara yang benar. Sakit? Jangan tanya sudah berapa kali aku menangis, saat lelaki ini hanya tersenyum membalas ungkapan sayang ku untuknya.

Aku menghela napas pelan. Memijat kepala ku yang berdenyut memikirkan hubungan ku dengannya.

"Pusing?" tanya Samudra dari balik kemudi. Aku menoleh ke arahnya, disertai gelengan pelan. Bibir ku rasanya kelu untuk merespon lebih.

"Udah sarapan?" tanya nya lagi, yang kembali ku angguki.

Aku memang sudah sarapan tadi pagi. Di kamar ku selalu tersedia roti tawar dan selai coklat. Untung jaga-jaga di situasi menengangkan dalam rumah.

"Udah, sama roti" jawab ku singkat. Tidak ingin membuatnya tahu bahwa ada kecewa di hati untuknya. 

Jelas ini bukan salah Samudra. Perasaan bukan suatu hal yang dapat dipaksakan. Aku ingin percaya jika cinta datang karena terbiasa, itu ada. Dan jika boleh meminta, aku ingin kisah ku dan Samudra berjalan demikian. Samudra yang terbiasa akan kehadiranku, Samudra yang merasa kurang saat tidak bersamaku, Samudra yang rindu akan hadir ku, dan Samudra yang mempunyai cinta untuk ku. Cinta yang membuatnya menyayangiku bukan mengasihaniku. Agar aku tidak terus merasa sendiri.

Aku kembali menghela napas pelan. Kenapa rasanya semakin berat? Masalah keluarga ku dan Samudra. Kepala ku ingin meledak rasanya memikirkan kedua hal itu. Terlebih saat ini permasalahannya datang bersamaan. Papa yang marah padaku dan Samudra yang merasa canggung. Ku rasa akulah penyebab kekacauan ini. Ya, kekacauan ini adalah akibat dari perbuatanku sendiri. Sekeras apa pun aku ingin menyalahkan orang lain, nyatanya aku lah tersangkanya.

Aku meremas sisi rok yang kugunakan. Menahan sayatan tak kasat mata. Terasa amat nyata. Aku mengatupkan bibir sekuat mungkin, menahan erangan kesakitan yang semakin terasa. Tak ada tangis tapi, sakitnya lebih parah.

Aku membuka mata saat deru mobil tak lagi terdengar. Membenahi gerai rambutku yang mungkin sedikit berantakan. Melepaskan seatbelt dan hendak meraih handle pintu mobil, ketika suara berat milik Samudra terdengar.

"Maaf" singkat dan pelan namun, masih mampu ku dengar.

Aku menoleh disertai senyuman. Tidak mudah untuk meminta maaf atas hal yang berada di luar kendali kita. Dia tidak benar-benar salah, walau aku ingin menyalahkannya. Semua akan lebih mudah jika, aku bisa melakukan hal demikian.

"Bukan salah kamu kok, kamu tahu ada waktu dimana aku merasa sangat sensitif, ada waktu dimana aku pengen berbagi cerita kayak semalam, kasih tahu kamu apa yang aku rasain, maaf kalo kamu merasa...terbebani" aku menghela napas. Semakin mengembangkan senyum ketika, mendapati Samudra yang menyimak ucapanku.

"Aku cuma pengen kamu tahu Sam bahwa aku selalu siap ngelepas kamu, kamu hanya perlu kasih tahu aku seperti yang sudah aku bilang saat kamu pasang cincin ini untukku, just tell me if you hated me then I'll let you go" lanjutku masih disertai senyuman. Tak ada keraguan dalam ucapan ku, meski dapat kurasakan mata ku berkaca-kaca.

Aku ingat sesaat setelah Samudra memasang cincin ini di jemari ku. Saat dimana aku menguatkan hati untuk bicara tentang perpisahan. Padahal disaat yang sama kami baru saja memulai sebuah hubungan.

"Samudra, mungkin kamu pikir aku gila karena, bilang ini padahal kamu baru aja pasang cincin pertunangan kita tapi, aku harus kasih tahu kamu kalo kamu hanya perlu bilang benci aku dan gak ingin aku dihidup mu untuk lepas dariku, I'll let you go although that hard to me, I'll let you go, I do swear"

Samudra hanya menatap ku datar, sebelum berlalu meninggalkanku tanpa sepatah kata. Aku tersenyum mengingat kenangan dua tahun lalu. Ternyata Samudra masih sama, sangat sama. Dingin.

Aku dan Samudra berjalan beriringan melewati koridor-koridor menuju kelas ku. Kedua tangan kami saling bertautan. Aku melihat ke arah tautan tangan kami dengan senyum tipis. Berharap pertanda baik untuk hubungan kami.

"Kak Samudra!!!" sebuah seruan meraih atensiku. Tidak bukan hanya atensiku saja tapi, juga Samudra. Sosok yang namanya di panggil.

Langkah kaki Samudra spontan terhenti. Tubuhnya kaku dengan rahang terkatup. Genggaman tangannya pada jemariku mengendur. Lelaki ini seolah berada di dimensi lain.

Aku bergeming, menatap lelaki disebalahku ini. Seharusnya aku segera menarik Samudra ke dunia nyata. Andai saja, aku tidak melihat binar itu dimatanya. Binar kerinduan. Ya, aku sangat yakin itulah arti tatapan lembut manik coklatnya.

Tatapanku beralih pada sosok gadis lebih mungil dari ku. Berjalan dengan langkah cepat. Raut wajahnya sangat cerah, begitu ceria. Aku meneguk ludah kasar, seiring dengan langkah riang itu.

Apakah ini akhirnya?

Tuhan, inikah akhirnya?

Apakah aku harus kembali sadar diri?

Atau,

Haruskah aku bertindak egois?

Memaksanya menggenggam tangan ku dengan erat, sangat erat

Aku belum, akh tidak-tidak, aku tidak siap kembali kehilangan kehangatan

Dia lelaki pertama yang bersedia menggenggam jemari ku

Dia lelaki pertama yang bersedia menarikku kepelukannya

Dia lelaki pertama yang bersedia mendengar keluh kesah ku

Aku...

Aku tidak siap kehilangan atau bahkan merelakannya

Dia...

Dia lelaki ku...

Dia cinta pertama ku...

Izinkan aku menggenggamnya seerat mungkin

Izinkanlah Tuhan

Aku ingin dia...

Samudra Airlangga Aldinata.

🎡🎡🎡

Jumat, 26 Juni 2020

Don't forget to give your vote-comment!!!

Don't be silent reader 👉🤐👎👈

Keep Healthy 💪💪💪

See you😘😘😘

Lara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang