LH[1]

10.3K 356 15
                                    

Haruskah sakit ini terus menikam
saat aku tahu bahwa ini bukanlah ancaman melainkan kenyataan ?


Aku menatap pantulan diriku di depan cermin full body yang menghiasi bagian kanan kamar ku. Kemudian dengan mudah aku memasang dasi hingga membentuk silang. Meraih almamater merah maroon yang menjadi bagian dari seragam hari ini. Menghela napas, aku kembali bercermin. Mengamati raut wajah identik ku disana. Jari tangan ku mengusap bagian pipi dari pantulan diriku di atas permukaan cermin.

"Tersenyumlah" ucapku, seolah dapat berinteraksi nyata dengannya.

Perlahan kedua sudut bibir pantulan diriku menarik seulas senyum identik denganku. Aku mengangguk masih dengan tangan mengusap permukaan kaca. Perlahan jari-jari tanganku menjauh, terkepal sempurna pada sisi tubuh. Memutar tubuh, aku memandangi kamar bernuansa biru laut yang temaram ini dengan sendu.

"Ngak, lo gak boleh lemah" sugesti itu terucap begitu saja disertai, anggukan dan langkah mantap menuju pintu kamar.

Dari tempatku berada saat ini terdengar suara tawa. Tawa dari para penghuni inti rumah mewah yang ku tempati. Mereka adalah papa, bunda, Erika/kakak perempuan, dan Bagas/adik lelaki. Jika kalian bertanya mengapa panggilan mereka terasa janggal. Karena, aku bukanlah puteri papa dan bunda. Kedua orangtua kandungku bercerai saat, aku berusia lima tahun. Hak asuh jatuh ke tangan papa. Maka dari itu, aku berada ditengah-tengah keluarga kecil ini.

"Sandra, kenapa berdiri aja disana?" ucapan lembut berasa dari bunda Rena menyadarkanku.

Dalam hati aku merutuki kebiasaan bodohku satu ini. Entahlah, setiap melihat keluarga kecil ini aku merasa bersalah dan tersisih. Bersalah karena, kehadiranku di dalamnya. Harusnya mereka dapat hidup bahagia dari dulu. Terutama, Erika yang tidak harus kehilangan sosok ayah di masa kecilnya.

Apakah kalian bingung? Jika iya, mari aku jelaskan. Bunda Rena merupakan cinta pertama dan kekasih masa muda papa. Sayangnya, orangtua pihak papa tidak menyetujui kebersamaan mereka. Mengingat status sosial mereka yang berbeda.

Sosok kakek yang begitu menentang kebersamaan bunda dan papa akhirnya, menjodohkan papa dengan puteri rekan kerjanya. Papa menolak usulan itu. Namun, siapa sangka kakek menjadi gelap mata dan memilih memengaruhi bunda. Berhasil, papa menikah dengan Wilda, mama ku. Tidak sampai satu tahun aku pun hadir di rahim wanita terhebat dalam hidupku.

Menikah karena, paksaan membuat kedua orangtua ku kurang akur. Terlalu banyak perbedaan prinsip yang mereka miliki. Walau, harusnya kedahiranku menjadi penengah ego keduanya. Papa yang sulit melupakan bunda Rena dan mama yang merasa tidak pantas diperlakukan demikian. Saat itu, aku masih terlalu kecil untuk mengerti arti pertengkaran orangtuaku di malam hari. Atau, sikap acuh mereka akan semua rengekan dan tangisan ku yang merasa kesepian. Kami bertiga seakan hidup di dunia masing-masing.

Saat aku berusia lima tahun, kedua orang tuaku memutuskan untuk bercerai. Mereka beranggapan bahwa tidak ada lagi kecocokan diantara keduanya terlebih saat, papa mengetahui keberadaan Erika. Aku yang lagi-lagi terlalu bodoh untuk mengerti situasi diserahkan pada Papa, sosok yang sama sekali tidak pernah berbicara padaku. Diserahkan karena, Mama tidak ingin mengurusku. Ibu kandungku mengalami depresi pasca melahirkan membuat, dirinya tidak ingin melihat atau bahkan menyusuiku sedari bayi. Tapi, lambat laun aku tahu sebenarnya, ia membenciku. Tidak, mungkin Mama membenci Papa yang berperilaku buruk padanya. Hanya saja, tidak dapat melampiaskan kebenciannya pada sosok paruh baya itu.

Lara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang