11. Badmood Maut

57 9 19
                                    

Semalam ketika membahas masalah-masalah sihir ke Mas Dicky, semuanya dan tidak ada yang ketinggalan pembahasan topik kemarin di kamarnya. Ia berkali-kali terkejut mendengarnya dan tidak habis pikir lagi kalau aku akan menjadi calon penyihir hebat.

Padahal aku sama sekali tidak menginginkan jabatan sebagai penyihir hebat, bagaimana aku bisa melakukan itu? — batinku menghela nafas kasar.

  Aroma masakan lezat tercium harum di hidungku. Seulas senyum terukir jelas di sudut bibir pemuda tinggi berbadan berisi tersebut, mata indah pria itu menunjukkan hari bahagia. Aku tersenyum sumringah, sudah lama aku tidak tersenyum sumringah dengan perasaan riang, biasanya dengan rasa paksaan karena senyum itu ibadah.

"Silahkan dimakan nasi goreng ala Mas Dicky ganteng. Ini energi buat calon penyihir ke depannya." kata Mas Dicky menaruh piring berisi nasi goreng di depanku setelah itu ia duduk di depanku ingin menyantap makanan tersebut.

Dahiku berkerut samar karena Mas Dicky masih percaya dengan apa yang ku katakan semalam. Ia tidak menganggap hal itu, aneh atau khayalanku terlalu tinggi dan mengukur khayalan itu sama seperti orang stress. Mas Dicky justru mendukungku menjadi penyihir hebat dan aku baru sadar, kalau aku lagi-lagi akan menjadi rivalnya Alan.

Oh god! Apakah aku tidak bisa di jauhkan oleh junior menyebalkan itu, sehari aja? Jika dia jodohku di masa depan, aku akan menangis sesak—batinku ngedumel tentang Alan Evander. Aku masih memiliki dendam dengan junior itu serta ketua osis sekolah sihir, George.

I will killing you! 

"Kenapa kau terlihat marah? Apa kau tidak suka dengan nasi gorengnya kalau tidak suka biar a—" belum sempat Mas Dicky menyelesaikan kalimatnya, aku sudah memotongnya duluan. Melahap nasi goreng itu dan menatapnya, tajam.

Setelah makanan itu ku telan, mulutku angkat bicara menjawab pertanyaan Mas Dicky,"aku tiba-tiba badmood saja." jawabku cepat dan memasukkan satu suapan lagi masuk ke dalam mulut. Hati ini terus menggerutu kesal ingin meninju muka Alan dan pukulan maut ke George.

  Mas Dicky menaikkan sebelah alisnya, heran lalu meneguk air putih di sebelah pemuda itu. "Kau ini, Sheira. Jangan mudah marah-marah tanpa alasan. Nanti cepat tua." tutur Mas Dicky yang cenderung mengatai ku.

Aku menatapnya datar, seandainya aku memiliki mata laser kayak Superman. Mungkin udah dari tadi Mas Dicky gosong karena mata laser ku. Sayangnya aku tidak memiliki kekuatan apapun.

  Setelah sarapan aku bergegas pergi dengan segera Mas Dicky mengambil kunci untuk mengantarku. Selama perjalanan menuju ke sekolah, kami berdua hanya diam tidak ada topik pembicaraan. Angin berhembus kencang menerpa wajahku, aku sudah lama tidak di bonceng sama Mas Dicky karena sepupuku ini kayak Bang Toyib. Lebih betah di luar jawa.

Bercanda, dia lagi kuliah di sana dan sekarang bisa dibilang libur panjang karena pekerjaan Mas Dicky di kuliahnya udah selesai semua. Keren sekali. Lalu aku teringat sesuatu dan kepala mendekat ke Mas Dicky biar pemuda itu bisa mendengar suaraku walau harus balapan dengan suara deru kendaraan lain dan juga angin.

"MAS DICKY! NANTI PAS AKU PULANG SEKOLAH. MAS DICKY JEMPUT SHEIRA?!" tanyaku berteriak kencang.

"APA?"

"MAAF SHEIRA, AKU NGGAK DENGER!" balasnya teriak juga membuatku menghela nafas sebal.

"MAS DICKY! NANTI PAS AKU PULANG SEKOLAH. MAS DICKY JEMPUT SHEIRA?!" tanyaku lagi membuat tenggorkanku serik karena terus berteriak di jalanan. Aku takut, pengendara lain yang malah dengar teriakanku sedangkan Mas Dicky, tidak sama sekali.

"NANTI AJA, RA. GUE NGGAK DENGER ADA HELM YANG MENGHALANGI TELINGAKU." katanya beralasan membuatku jengah.

"MAS DICKY DUBLEK! Mending nanti helmnya di modifikasi, bagian telinganya bolong, biar bisa denger." cibirku melipat kedua tangan di dada. Menghela nafas panjang mencoba untuk sabar dan emosiku tidak meledak sampai ubun-ubun.

Sekolah Sihir [S1-End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang