Epilog

39 6 3
                                    

   Alan terus mengoceh mengejekku membuat aku merasa kesal dan ingin naik darah. Ika ketika bermain terlihat enjoy saja karena dia terus menerus menyetak koin sedangkan diriku tidak mendapatkan apapun dan sebentar lagi waktu bermain mau habis. Mulut Alan sama sekali tidak bisa diam dan bilang terus menerus kalau aku ini nggak laku.

"Ayolah! Mbak Sheira masa main tembak-menembak gitu aja kagak bisa sih. Nanti diburu sama Ika semua loh." kata Alan. Aku yang sudah tidak bisa menahan diri pun akhirnya meledakkan semua emosi ku ke atas kepala.

Arya melihat kalungku bersinar yang warnanya merah dan aku segera menekan pelatuk pistol yang ku bawa. Mana sihir yang ada di dalam tubuhku seolah-olah terdorong untuk keluar, mataku membulat sempurna rasanya waktu ini bergerak lamban dan kari telunjuk yang sudah menekan pelatuk mengarah ke salah satu target yang memiliki nilai paling besar yaitu: 100 koin. Peluru pistol pun akhirnya keluar dari lingkaran depan dan mengarah cepat ke target bernilai 100 koin.

Dag!

  Peluru itu menancap ke target 100 koin dan mesin tersebut seketika berhenti membuat semua orang tercengang. Lalu arah pandang mereka langsung mengarah ke arahku. Aku yang menembak pistol barusan untuk mencetak koin merasa  terintimidasi dan mulut ini terangkat, berkata,"kenapa kalian mengarah ke aku begitu?" tanyaku mudik bergantian penuh was-was.

Alan cengo melihatku yang bisa menembak permainan dalam sekali tembakan sudah mencetak 100 koin. Ika saja baru mencetak 60 koin. Salsa yang melihatku berhasil memainkan permainan ini merasa senang.

"Wow! Sheira, kamu hebat sekali. Langsung mencetak gol 100 koin, bagaimana caramu melakukannya?" tanya Salsa perasaan senang dan aku sendiri tidak tahu, bagaimana cara melakukannya barusan sebab pistol permainan ini menggunakan mana sihir dan kau bakal bisa menembakkan peluru ke arah target.

Dahi ku berkerut samar dan melihat target yang tadi aku tuju serta kejadian tadi barusan kemungkinan tidak sengaja. Aku mencoba untuk melakukan hal yang sama seperti barusan. Namun, tidak semudah apa yang aku lakukan barusan. Tangan ini sudah menekan pelatuk pistol di genggamanku tetapi hasilnya sama saja, tidak bisa.

"Lah terus? Barusan tadi aku ngapain? Bagaimana aku mengeluarkan mana ku keluar? Ini aneh." tanyaku pada diri sendiri, kebingungan.

Setelah bermain tembak menembak itu. Kami memilih untuk pulang kembali ke sekolah dan aku masih kebingungan, bagaimana caranya aku menembakkan pistol itu menggunakan mana sihir dalam tubuhku ini? Dan ku amati borgol ini sedikit kendor. Ya, rantainya yang awalnya pendek menjadi sedikit panjang dan aku seperti ingin terbebas dari borgol ini.

"Bagaimana aku bisa mengeluarkan mana seperti tadi?" tanyaku menoleh ke teman-teman.

Alan menjawab pertanyaanku, bilang,"itu dari dorongan alat sihir yang ada di lehermu, kalung sihir."

"Dari kalung sihir ini, maksudmu?" tanyaku balik ke Alan sedikit tidak percaya kalau dari alat sihir ini, kalung yang hanya tersisa 3 permata.

"Iya dong, masa aku bohong. Aku nggak pernah bohong." kata Alan begitu pedenya membuatku membuang muka, memasang wajah jelek pengen muntah dengar ucapan Alan.

"Dih, cuman omongan kosong mah. Pernah bohong sama aku." sahut Ika berjalan cepat menyusul Alan yang jalannya sejajar. Muka Ika melirik tajam ke Alan sedangkan pemuda menyebalkan ini tertawa kecil dan meminta maaf.

Aku hanya memutar bola mata malas, menghela nafas kasar mendengar mulut buaya laki-laki. Alan menambahkan,"beneran loh, aku nggak bohong. Itu tadi dari kalung mu, Sheira. Aku serius!" ucapnya penuh keyakinan dan aku masih nggak percaya.

Arya tersenyum. "Yang dikatakan oleh Alan benar, Sheira."

"Tuh dengerin! Benar kataku!" sahut Alan cepat dan Ika memukul bahu Alan membuat pemuda itu merintih kesakitan.

Sekolah Sihir [S1-End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang