14. Tidak ada Ending Cerita

40 8 6
                                    

Setelah mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru. Aku segera mengambil buku yang kemarin aku pinjam dari perpustakaan, buku itu ku letakkan di kolom meja. Pandanganku memerhatikan sekeliling kelas terutama di meja guru, terlihat Bu Alma sedang sibuk dengan pekerjaan mengisi laporan di laptop. Jadi beliau tidak sempat memerhatikan perilaku anak didiknya.

Dan aku melihat beberapa anak juga malah main hp sesekali mengobrol bareng bersama satu bangku. Ngomong-ngomong aku sama sekali tidak ada teman sebangku, bisa dikatakan mereka ogah sama aku—ada alasan tersendiri yang tidak bisa ku jelaskan. Untungnya aku berteman dengan Kira, ia yang sering membantuku di mapel kejuruan akuntansi.

Ekhmm, bisa-bisanya aku tidak jago di bidang kejuruan sendiri. Bodoh sekali diriku—batinku merutuki diriku sendiri.

  Beberapa halaman buku novel "Petualangan Sihir" ku buka secara perlahan-lahan seraya membaca berulang kali. Tidak tahu kenapa? Aku malah kepikiran ucapan Mas Dicky kemarin perihal ending cerita yang tidak ada di dalam buku ini. Lalu beberapa waktu kemarin, aku dan Alan menuju ke perpustakaan bahwa aku harus menjadi penyihir hebat. Dan tunggu dulu, aku belum sepenuhnya mengerti ini.

"Huh, kata Pak James ada panggilan burung merpati tapi sampai sekarang belum datang tuh burung." monolog ku menghela nafas kasar mencoba untuk sabar menghadapi semua ini.

Kira meletakkan penanya dan menoleh ke arahku, bertanya, "maksudmu burung apa yang datang? Sher?" tanya Kira membuatku tertegun kalau Kira telah mendengar monologku tadi. Aku terkekeh kecil, menggeleng pelan.

"Ah, tidak apa-apa. Kemarin tetanggaku beli burung warna hitam eh nggak tahunya kandangnya bolong jadi kabur. Jadi sekarang burung itu nggak kembali ke tuannya." ucapku memberi alasan yang masuk akal, tidak lupa untuk tersenyum sumringah agar kedustaanku ini tidak ketara banget.

"Kasihan banget." jawab Kira sedih, ku balas anggukkan mantap.

"Hooh, kasihan kan orangnya. Beli-beli burung di pasar harganya mahal eh nggak tahunya kandangnya bolong terus burungnya terbang bebas dah." kataku lagi terkekeh.

"Bukan, orangnya yang kasihan tapi burungnya. Malah bagus kandangnya bolong terus burungnya bisa bebas terbang di langit tanpa ada tekanan batin. Bagus juga buat ekosistem." kata Kira membuatku memasang wajah datar menganggap jawaban dari Kira.

Tidak heran sih, Kira itu pintar banget dan ahli dalam bidang mapel apapun karena ia sering banget belajar dan belajar. Sampai otaknya penuh dengan tulisan materi serta disimpan di memori jangka panjang agar suatu saat nanti, teringat kembali tuh pembelajaran.

Sedangkan diriku. Aku sama sekali tidak hobi membaca apalagi buku materi mapel pelajaran, sungguh itu membuatku mengantuk, belum dapat dua menit. Kantuk sudah datang dan beda lagi kalau baca buku novel baik digital atau bukan digital, baca berjam-jam sampai pagi.

Tentu saja bisa.

Kira melihat lamat-lamat buku yang ada di atas mejaku. "Ini buku fantasi? Kau pinjam di perpustakaan?" tanyanya membawa buku itu dan membolak-balikkan buku tersebut sembari membaca sinopsis di belakang buku.

Aku menyangga pipi dengan tangan kanan, menghela nafas kasar. "Iya, kemarin aku baru meminjamnya ceritanya seru banget. Aku candu tapi di sana tidak ada ending cerita, malah kosong melompong." kataku. Dahi Kira berkerut samar, tidak percaya.

"Masa sih?"

Ia membuka belakang buku, wajahnya terkejut kalau ucapanku barusan itu sangat benar. Di dalam sana sama sekali tidak ada ending cerita. Kira meletakkan buku itu kembali di atas mejaku, berkata, "aneh sekali. Baru pertama kalinya aku menemukan buku sejenis itu. Biasanya kan namanya buku novel ada awalan dan akhiran. Sedangkan ini..."

Sekolah Sihir [S1-End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang