33. Rasa Curiga

34 7 0
                                    

  Perutku terasa sakit sekali, ku pegang perutku rapat-rapat, mata ini masih setia terpejam dan susah sekali buat membuka mata.

"Duh, mules." Keluhku dan berusaha mengubah posisi terbaring menjadi duduk. Semakin lama rasa mules itu semakin parah, tidak kuat buat menahannya. Mata berusaha untuk terbuka dan kaki ini langsung beranjak pergi ke toilet yang berada di bawah.

Suara hentakan kaki begitu cepat menuruni anak tangga dan berbelok menuju ke toilet terdekat. Tidak peduli dengan ruangan tengah masih gelap gulita dan mana sempat menekan saklar lampu. Pintu toilet segera ku tutup kasar sehingga menimbulkan suara keras.

Brak!

  Padahal aku sama sekali tidak memakan sambal sama sekali dan tiba-tiba perutku merasa mules yang luar biasa. Ketika ada panggilan alam dan ku ingat-ingat lagi, bahwasanya aku memakan sedikit baso lava milik Leo di kantin waktu itu. Mungkin, itu penyebabnya perutku sakit luar biasa. Ketika enak-enakkan bersemedi di toilet, menunggu panggilan alam selesai tuntas hingga rasa panas menyerang.

Suara ketukan pintu sukses menggangguku. "SIAPA?!" lantang ku di dalam toilet sembari memegang perutku yang masih mules sekali.

'Ya Allah, sampai kapan aku di dalam toilet ini dan juga rasanya sudah panas sekali'—keluhku dalam hati.

"Ini aku, Mas Dicky. Kau ini kenapa sih Sheira?! Nutup pintu toilet keras banget. Kalau pintunya roboh gimana?" Celotehnya dari balik pintu sedikit keras,"hoam." Sesekali menguap karena masih mengantuk.

Aku memasang wajah datar menatap pintu itu datar. "Kalau roboh tinggal dibenerin aja. Kok repot." Balasku enteng dan tidak mau ambil pusing. Karena perutku masih mules luar biasa. Sepertinya aku akan keluar dari toilet setengah jam atau bahkan menghabiskan waktu satu jam berada di sini.

Sungguh? Ini mules banget!

"Anjir. Kau selalu saja membalas seenaknya saja, tinggal benerin. Tanpa uang, nggak bisa dibenerin lah." Ucapnya sedikit protes padaku.

"Bodoh! Amat! Mending Mas Dicky pergi jauh-jauh dari sini. Tidak tau apa? Aku lagi mules malah diajak bicara sih." Ucapku protes menyuruh Mas Dicky pergi dan berhenti berbicara tentang apapun karena aku lagi sibuk bersemedi.

Terdengar suara Mas Dicky dari balik pintu itu tertawa terbahak-bahak membuatku semakin ingin menjitak kepalanya. Dan aku baru sadar bahwa ia sudah kembali ke rumah, aku bakal menanyakan tentang banyak hal masalah kemarin. Ia pergi ke mana? Sampai malam tidak kunjung datang.

  Setelah lama aku bersemedi di toilet. Suara air terdengar begitu jelas dan mematikan kran lalu keluar dari toilet. Rasanya lega setelah selesai panggilan alam, ruangan tengah masih gelap gulita dan aku segera mencari sosok pemuda yang tadi protes denganku. Bisa-bisanya ia menganggu aku di toilet.

Sepupu tiada akhlak memang.

Sebelum aku mencari Mas Dicky, aku menuju ke dapur buat mengambil minuman segar sesekali melihat ke arah jarum jam di dinding menunjukkan angka 04:35 Wib, adzan subuh sudah selesai berkumandang. Air ku tuangkan ke dalam gelas lalu segera ku teguk hingga tandas tanpa sedikit pun air berada di gelas ini.

Ekor mataku melihat seorang pemuda berjalan menuju ke dapur dan menekan saklar lampu. Cahaya terang sukses menerangi dapur dan mendapati aku yang berdiri hendak meletakkan kembali minuman ke dalam kulkas. Aku melihat Mas Dicky datang dan menuju ke kulkas megambil susu kaleng segar di dalam sana.

"Mas Dicky udah bangun subuh-subuh? Tumben." Tanyaku sedikit curiga ke Mas Dicky. Jika memang ada rahasia terbesar yang tidak akan pernah ku ketahui sedikit pun.

Ia membuka kaleng susu dan meneguknya sedikit, menatapku yang tiba-tuba menanyakan hal itu. "Justru aku yang harusnya bertanya padamu, Sheira."

"Kenapa?"

Sekolah Sihir [S1-End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang