13. Ngomong Penting

42 8 8
                                    

Makan malam sudah tersedia di atas meja membuatku yang selesai mengerjakan tugas, menghela nafas lega. Lalu aku mencium aroma masakan terlezat di dunia, mengukir senyum. Aku menarik kursi dan segera mengambil nasi di baskom, ketika ingin mengambil nasi satu centong gerakkanku tiba-tiba berhenti karena teriakan Mas Dicky.

"Hei hei! Jangan ambil nasi sebelum masnya juga duduk di sini." larangnya membuatku mendengus sebal, aku duduk secara kasar, muka ngambek menatap Mas Dicky.

"Kenapa sih dilarang? Aku ini udah lapar, Mas Dicky." ucapku ngedumel, memutar bola matanya malas.

Mas Dicky menghela nafas kasar, menatapku. "Kita makan malam bersama dan harus nunggu yang tua dulu, baru yang muda." katanya tersenyum sumringah menunjukkan deretan gigi putih serta pipi lesungnya ketika tersenyum.

"No no no! Lagian aku kan tuan rumah disini. Sedangkan kau sepupu pembantu." cibirku menjulurkan lidah ke Mas Dicky. Pemuda itu langsung melotot dan berkacak pinggang, pose mau memarahiku dengan kekuatan The Power of Babu.

"Ngomong apa lu?"

"Sepupu pembantu." jawabku enteng.

"Oh, sekarang berani melawan ya sama sepupu sendiri, Sheira." katanya melipat kedua tangan di dada, menatapku begitu lekat membuat diriku muak melihat Mas Dicky.

"Kan enak kalau di panggil sepupu pembantu daripada babu." kataku mencibir Mas Dicky lalu mengejek pemuda dengan menurunkan kantong mata, tidak lupa menjulurkan lidah dan kabur dari amukan singa.

"SHEIRA AWAS AJA! BESOK AKU TIDAK AKAN MASAK LAGI BUATMU." ancamnya padaku. Suara gelak tawa dariku terdengar begitu nyaring di dalam rumah.

"Marah nih, wkwk." tawaku muncul dari balik tembok sesekali menutup mulut dengan tangan.

Ini sudah terbiasa terjadi kalau sepupuku Mas Dicky menginap disini untuk menemaniku di rumah, sendirian. Dari dulu kedua orang tuaku sudah gila sama pekerjaan mereka, walau ada waktu menghabiskan waktu bersama denganku. Hanya bersifat sementara lalu aku langsung ngambek ke mama, kalau mereka udah nggak sayang sama aku.

Papa menghiburku dan meminta Mas Dicky menginap di rumah saat libur panjang atau ia meminta izin ke sini satu minggu. Bisa dikatakan aku ini adalah keluarga kurang kasih sayang dan selalu main perasaan, terutama pas waktu marah-marah jadi jangan heran sikapku sering bar-bar di hadapan orang.

"Untung sayang. Kalau aku nggak sayang sama kamu, Sheira. Aku udah lahap dari tadi." ucap Mas Dicky geram sembari menirukan hewan harimau, aku masih tertawa kecil melihat Mas Dicky yang kesal.

"Hahaha, jail sama sepupu sendiri. Nggak masalah kan?" ucapku mengedipkan sebelah mata membuat Mas Dicky melotot lalu pemuda itu segera mengajakku makan malam bersama.

  Dengan cepat aku mengambil beraneka ragam lauk pauk serta nasi yang banyak. Mas Dicky hanya menggeleng melihat porsi makananku sangat banyak kali ini, padahal biasanya aku hanya makan sedikit kayak orang diet. Malah keseringan makan di luar.

You know! Kalau makan masakan orang lain lebih lezat daripada masakan sendiri. Aku sama sekali tidak tahu, apakah ada yang salah dengan lidahku ini?

"Bismillah," ucapku menyuapkan makanan ke dalam mulut dan mengunyahnya penuh kenikmatan.

"Mengunyah makanan biasa, tidak perlu pakai acara kek iklan televisi." komentar Mas Dicky datar. Aku mah bodoh amat dan masih lanjut makan.

"Bodoh amat."

Setelah makan malam, aku segera membereskan piring-piring kotor dibantu oleh Mas Dicky. Sembari menyusun piring kotor dan membawanya ke wastafel dapur. Meletakkan piring-piring kotor di sana lalu menoleh ke pemuda di belakangku.

Sekolah Sihir [S1-End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang