12. Panggilan

49 7 8
                                    

"Panggilan apa Lan?" tanyaku antara takut sama tidak. Karena aku memiliki dua pilihan: di panggil oleh Pak James atau panggilan dari konseling.

  Firasatku tiba-tiba tidak enak mendengar Alan mengatakan itu, keringat dingin mulai menetes di pelipisku, menelan saliva. Jika Alan mengatakan aku mendapatkan panggilan konseling, bisa-bisa gawat mengingat aku tadi menghajar seorang pemuda yang kurang ajar padaku.

"Mbak di panggil sama..." kata Alan berhenti sejenak membuatku semakin penasaran, berasa di ajang pencarian bakat pakai di gantung segala buat menentukan siapa yang menang.

"Di panggil sama siapa?" tanya Salsa juga penasaran, Alan mau bilang apa? Alan melihat kami bertiga yang udah panas dingin.

Alan tertawa kecil menunjuk kami bertiga bergantian sambil berkata,"nungguin ya?"

Emosiku yang tadi mulai padam kini rasanya ingin bangkit lagi dan aku belum menghajar seorang pemuda bernama lengkap Alan Evander. Apalagi sekarang, pemuda itu tengah berdiri di depanku. Wajahku berubah menjadi datar, "aku akan menghajar mu di sini!" ancamku.

Ia mendelik dan memohon ampun padaku. "Eh Mbak Sheira, ampun. Jangan galak-galak dong entar cantiknya ilang." katanya menyebalkan sekali. Aku ingin meluncurkan tinjuan mentah ke wajah Alan dengan sigap Salsa mencegahku, menggeleng.

"Jangan!"

"Memangnya Alan mau bilang apa sih? Kami bertiga di panggil siapa?" tanya Ika juga kesal, aku melirik ke gadis itu. Ika selalu salting dan tidak bisa menyembunyikan pipi merah di hadapan Alan.

Pemuda tinggi bak tower itu tersenyum dan malah terkekeh geli. Aku menatapnya tajam. "Jangan marah! Kalian di panggil sama Bu Rara di perpustakaan." ucapnya membuatku menghela nafas lega.

Syukurlah.

Jika aku di panggil sama guru konseling, Pak Burhan. Bisa-bisa Mas Dicky datang ke sekolah dan mengurus semua masalahku di sana. Aku mengelus dada penuh kelegaan.

"Huh," menghela nafas sejenak menoleh ke Salsa,"aku ke kelas dulu, mengambil buku perpustakaan. Duluan ya!" kata Salsa langsung cabut meninggalkanku sama Ika di sini.

Gadis itu perlahan pergi dan menjauh, kami bertiga hanya bisa melongo. Aku segera tersadar dan menoleh ke Ika,"bagaimana denganmu, Ka? Kamu nggak sekalian mengambil buku di kelas buat mengembalikan ke perpus?" tanyaku dibalas gelengan pelan.

"Tidak, Sheira. Aku belum menghabiskan buku itu, hehehe." jawabnya terkekeh geli.

Akhirnya kami bertiga berjalan beriringan menuju ke perpustakaan terlebih dahulu dan ku pastikan Salsa setelah mengambil buku di kelas. Ia langsung pergi ke perpustakaan dengan langkah terburu-buru. Sampai di perpustakaan, kami bertiga melihat pustakawan,  Bu Rara tengah menumpukkan buku di atas meja. Lalu arah pandangnya beralih ke arah kami bertiga.

Bu Rara tersenyum,"masuklah!" titahnya lalu kami bertiga masuk dan aku menghampiri Bu Rara dengan pikiran penuh tanda tanya terutama panggilan dari beliau.

"Ada apa bu? Bu Rara memanggil kami bertiga?" tanyaku sembari melihat tumpukkan buku di atas meja. Dahiku berkerut samar saat melihat sampul buku di dalam tumpukkan buku itu.

  Buku yang pernah ku raih dari rak genre fantasi pada saat buku tersebut jatuh, tiba-tiba rak tersebut menggeser dan muncul pintu misteri. Dalam hatiku bertanya-tanya tentang buku itu, 'bukannya buku itu sudah hilang?'—batinku. Dan Bu Rara mengetahui buku Petualangan Sihir berada di sana, pastinya buku yang ku klaim hilang berada di tumpukkan buku-buku yang sudah dikembalikan setelah membaca.

"Loh, Sher. Bukannya itu buku yang kamu cari?" tanya Ika membuka suara membuatku sedikit terkejut.

Bu Rara menoleh ke Ika dan mengikuti arah pandang gadis itu, melihat buku memiliki sampul hitam dan ada tulisan blok kuning bertuliskan "Petualangan Sihir". Bu Rara menarik buku itu dan memberikannya padaku.

Sekolah Sihir [S1-End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang