•
•
•KORIDOR kelas 11 masih terlihat sepi pagi itu karena Embun berangkat lebih cepat dari biasanya. Saat matahari belum terbit, Embun pulang dari rumah sakit ke rumah kontrakannya untuk bersiap sekolah, tetapi dia tidak menyangka waktu yang dia butuhkan hanya sebentar sehingga dia sampai lebih awal.
Setelah menaruh tasnya di kelas, Embun pergi ke kantin untk mengisi perutnya karena sejak semalam dia belum makan apapun. Setelah sampai di rumah kontrakan dengan diantar Tora dan Marni lalu membayarkan gaji terakhir mereka, Embun langsung pergi ke rumah sakit tanpa membereskan apapun sehingga rumah kontrakannya masih sangat berantakan.
"Embun!!" panggil seseorang saat Embun berjalan di koridor dengan santai hendak kembali ke kelas.
Embun tersenyum, "Pagi, Fani, Laura." sapa Embun tetapi kedua sahabatnya itu hanya menampilkan ekspresi datar.
"Ikut gue." ucap Fani kemudian menarik tangan Embun dengan paksa.
"Apaan sih." keluh Embun, dia melirik Laura yang mengikuti mereka di belakang seolah bertanya apa yang terjadi pada Fani tetapi Laura hanya mengedikkan bahu acuh.
Fani membawa Embun ke taman belakang. Sesampainya disana, Fani menghempaskan Embun dengan kasar lalu berdiri membelakangi gadis itu. Embun bingung melihat sikap Fani sedangankan Laura bersidekap dada menatap Embun tanpa ekspresi. "Lo kenapa sih?" kesal Embun.
"Lo yang kenapa!!" Bentak Fani, kini dia berbalik menatap Embun dengan mata berkaca-kaca.
Embun tersentak melihat tatapan sedih dari Fani, "Fan lo nangis?" tanya Embun, dia berusaha mendekatiny tetapi Fani melangkah mundur.
"Lo anggep gue sahabat nggak sih?" tanya Fani penekanan.
"Maksud lo?" Embun mengernyit tak mengerti.
Fani menghela nafas lalu mengusap wajahnya kasar, "Kenapa lo mendam penderitaan lo sendiri!! Kenapa lo nggak cerita sama gue atau Laura. Lo anggap kita apa Embun!!" marah Fani dengan mengebu-gebu.
Embun paham sekarang, sepertinya Fani sudah tau tentang masalanya dari Bara, "Maaf, gue cuma nggak mau ngerepotin kalian." jawab Embun, dia menunduk tak sanggup menatap mata Fani yang kecewa padanya.
"Nggak ada yang ngerepotin disini, kita khawatir sama lo. Lo bisa ceritain semua masalah lo. Nggak ada yang harus di tutup-tutupin Embun." kesal Fani.
"Maaf." Hanya itu yang terucap dari bibir Embun, dia jadi sangat merasa bersalah pada kedua sahabatnya.
"Ngeselin." ketus Fani, dia dengan sengaja menabrak pundak Embun kemudian berlalu.
"Fani." panggil Embun tetapi Fani tidak menoleh sedikitpun. Embun kini menatap Laura yang masih diam mematung di depannya, "Laura, gue,__." Embun kembali menunduk, jari-jarinya menggenggam erat ujung roknya, dia tidak akan melakukan pembelaan diri karena tidak menceritakan masalahnya pada Fani dan Laura.
Tanpa Embun duga sama sekali, Laura memeluknya dengan erat, "Gue ngerti, nggak semuanya bisa di ceritain sama sahabat. Tapi gue cuma mau bilang sama lo. Kapan pun itu, kita bakal ada buat lo." ucap Laura.
Embun terharu lalu menangis dan membalas pelukan Laura tak kalah erat, "Thanks." lirih Embun.
•
•
•EMBUN menatap sendu Fani yang masih tidak mau bicara dengannya dan terus saja menghindar. Hingga bel pulang berbunyi dan kelas perlahan sepi, Fani dengan cepat membereskan bukunya dan bersiap pergi tetapi Embun dengan cepat menahan tangan Fani.
"Fani." panggil Embun, Fani tidak menoleh dia hanya diam dan berusaha melepaskan tangan Embun yang menahannya. Embun menghela nafas pasrah lalu melepaskan genggamannya dan Fani langsung melangkah pergi. Sedangkan Laura masih stay duduk di bangku sembari memperhatikan kedua sahabatnya itu.
"Please jangan marah. Gue tau gue salah karena nggak cerita masalah gue sama lo tapi gue mohon lo ngertiin keadaannya. Gue bingung Fan." ucap Embun.
Fani menghentikan langkahnya lalu berbalik menatap Embun tajam, "Kalau aja gue nggak denger bonyok gue ngomongin masalah lo. Mau sampe kapan lo tutup-tutupin!!" kesal Fani.
"Maaf." jawab Embun dengan menunduk.
Fani terisak lalu berlari dan memeluk Embun dengan erat, "Dasar bodoh, sok kuat lo." Tangis Fani dan Embun pecah di saat yang bersamaan.
Laura tersenyum lalu berdiri dan ikut berpelukan, "Nah gitu dong, udah ributnyakan. Yuk kita pulang udah sepi." Ajak Laura.
Embun dan Fani terkekeh, mereka melepaskan pelukan itu lalu mengusap mata yang sembab, "Makasih ya." ucap Embun dan kedua sahabatnya mengangguk, menggandeng tangan kiri dan kanan Embun kemudian mereka berjalan meninggalkan kelas.
"Lo mau langsung pulang?" tanya Fani pada Embun saat mereka sudah berada di lobi sekolah.
Embun menggeleng, "Nggak ke rumah sakit dulu." jawab Embun.
"Gue anter ya." ucap Fani
"Nggak usah, gue naik taxi aja. Arahnyakan berlawana sama rumah lo." tolak Embun dengan lembut.
"Gue lagi nganggur, bener." ucap Fani sedikit memaksa.
"Gue juga." timpal Laura.
Embun tersenyum lalu menggenggam kedua tangan sahabatnya, "Makasih, tapi lain kali aja." tolak Embun lagi karena dia akan pergi ke suatu tempat sebelum ke rumah sakit.
Laura menghela nafas pasrah, "Ya udah, kapan-kapan kita mau main ke rumah baru lo." ucap Laura.
Embun terkekeh, "Bukan rumah gue, cuma ngontrak." jawabnya.
Laura berdecak, "Tetap aja lo yang tinggalin." balasnya.
"Iya deh." Embun tertawa kecil lalu memeluk Laura dan Fani bergantian,
"Gue duluan ya." pamit Embun setelah itu mereka berpisah jalan.
Embun berjalan dengan santai, rencananya dia akan pulang ke rumah dulu untuk mengganti baju. Alasan Embun menolak ajakan Laura dan Fani tentu saja karena rumahnya berantakan, Embun belum sempat berkemas. Langkahnya perlahan terhenti saat melihat seorang pria paruh baya bersandar di bandan mobil depan SMA Garuda dan tersenyum hangat padanya.
"Embun." panggil pria itu.
"Om Eric." Embun mengernyit bingung karena Eric berada di depan sekolahnya.
Eric berjalan menghampiri Embun, "Bisa kita bicara?" tanya Eric.
Embun menatap Eric ragu tetapi akhirnya mengangguk karena merasa mungkin saja Eric akan membicarakan suatu hal penting tentang ayahnya karena Embun masih menjadi penanggung jawab sebelum Aditya sadar.
Eric kembali tersenyum lalu mengajak Embun masuk ke dalam mobilnya. Membukakan mobil penumpang lalu menyuruh sopirnya untuk menyetiri mobil itu. Eric akan membicarakan sesuatu sambil mengantarkan Embun ke tempat tujuan gadis itu.
Disisi lain, Dellon yang sedang nongkrong di warung dekat sekolah mengernyit saat melihat Eric membawa Embun masuk ke dalam mobil, "Itu 'kan bokap lo, Lang." ucap Dellon.
Langit mengalihkan pandangannya dan tersenyum tipis, "Emang." jawab Langit lalu menghembuskan asap rokok yang dia hisap ke udara lalu membuang puntung rokok itu dan menginjaknya kemudian berlalu meninggalkan Dellon.
"Eh kok gue di tinggal sih." keluh Dellon mengikuti Langit yang berjalan menuju motornya yang terparkir.
"Balik?" tanya Dellon.
"Cafe, ngopi aesthethic kita." ajak Langit.
"Kuy, sabilah."
•
•
•Jangan lupa follow IG Pesona_chan ya..
KAMU SEDANG MEMBACA
DAMN'IT FIANCE || end
Подростковая литература"Lo milik gue selamanya!" Langit Sankala, si brengsek yang sifatnya arogan, berandalan dan playboy, sedang jatuh cinta pada primadona sekolah, Embun. Tetapi citra buruk yang melekat pada Langit membuat Embun selalu menjauh dan tak pernah ingin b...