Melisha menganga ngeri setelah mendengar cerita Shovy. Itu sebabnya dia tak pernah mau berkecimpung dengan dunia bisnis, terlalu ngeri dan kejam jika sudah berurusan dengan para pesaing perusahaan.
Matanya masih menatap Shovy, dalam hati dia begitu menyesal karena selama tiga bulan ini dirinya menaruh rasa tak suka pada perempuan yang dulunya begitu disayanginya. Dia telah berprasangka buruk. Dengan perlahan, Melisha mengambil tangan Shovy dan meremasnya lembut. “Nak Shovy, Tante minta maaf, ya, selama ini Tante dibutakan oleh hati Tante yang terus berprasangka buruk terhadapmu. Bahkan tadi Tante begitu tak baik menyambut kedatanganmu,” sesalnya.
Shovy membalas remasan tangan Melisha. Dia tersenyum penuh haru, hatinya begitu lega dan bahagia saat mengetahui wanita yang dulu dia impikan menjadi mertuanya itu sudah memaafkannya, bahkan dirinya yang lebih dulu meminta maaf.
“Justru aku yang harus minta maaf, Tante. Atas semua sikapku yang tak punya malu waktu itu, sehingga menimbulkan masalah yang begitu besar.”
“Sudahlah! Tante senang kamu sudah baik-baik saja.”
Mereka akhirnya berpelukan dengan tangisan haru.
“Duh, kok aku ikut terharu ya, Pi.” Kayla menginterupsi suasana di sana. Radhi menatap ibu mertuanya yang selalu mencairkan suasana. Persis seperti … istrinya, Maira.
Mengingat istrinya kembali, Radhi sekuat tenaga mengenyahkan sesak di dadanya. Kuat, dirinya harus kuat! Dia takkan membiarkan mereka melihat sisi lemahnya. Menangis karena begitu merindukan Maira.
Semenjak hilangnya Maira, hubungan Radhi dengan ayah mertuanya sedikit renggang. Lebih tepatnya Zamzam, pria paruh baya itu selalu bersikap dingin, meski ibu mertuanya masih tetap bersikap ramah dan sayang kepadanya. Namun, justru itu yang membuat Radhi bertambah merasa menyesal dan bersalah.
Kamu tahu cara menghukum orang yang bersalah akan dirimu? Yaitu dengan memaafkannya, maka rasa bersalah itu akan terus terekam dalam memorinya.
Zamzam hanya merespons datar kelakuan istrinya, sementara yang lainnya tersenyum. Jafriel meneliti semua orang di sana. Mereka duduk dengan pasangan mereka masing-masing. Zamzam, Raditya, Reinald juga … Jafriel menatap Radhi dan Shovy secara bergantian. Ya … kecuali Radhi yang tidak memiliki pasangan di sana, karena dirinya sudah ada Shovy sebagai pasangannya. Poor Radhi, suami berasa duda.
“Jadi sudah sampai mana prosesnya sekarang?” tanya Zamzam memulai lagi pembicaraan.
Radhi berdeham beberapa kali guna menghilangkan kegugupannya. Itulah Radhi saat ini. Setelah kepergian Maira ditambah fakta jika ayah mertuanya ternyata menyaksikan bagaimana dirinya menyakiti Maira pagi itu, Radhi sangat canggung dengan ayah mertuanya ini. “Alhamdulillah, Pi. Hanya menunggu bukti keterlibatan perusahaan MS, maka semuanya terungkap bahkan rekam jejak hitam perusahaan itu sampai ke akarnya.”
“Hmm,” respons datar Zamzam. “Lalu orang yang memukul kaki Maira saat itu sudah ketemu?”
Radhi kembali mengangguk. “Sudah, Pi. Di---”
“Tunggu! Orang yang memukul kaki Maira? Maksudnya apa?” Melisha memotong ucapan putranya.
“Jadi, waktu insiden Maira tanpa sengaja menubruk tubuh Shovy dan menyebabkan pakaian Shovy sobek itu sebenarnya bukan tanpa sengaja tersandung. Melainkan memang ada yang memukul kaki kanannya walau tak ada yang menyadari.” Reinald ikut bicara saat Radhi tak kunjung menjawab pertanyaan ibunya.
“APA?” Melisha berteriak seketika. Wajahnya merah padam. “Kurang ajar! Aku gak akan segan-segan menguliti dan mencingcangnya jika terjadi sesuatu pada menantu juga calon cucu-cucuku,” gelegarnya penuh kemarahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suami Killer-ku (On Going)
General Fiction--Saat cinta diperkuat dengan ikatan pernikahan.-- "Bang!" "Ya." "Kenapa Abang lamar Mai?" "Ingin." "Apakah ... Abang selama ini jatuh cinta ya pada Mai?" "Jangan sembarangan!" Gadis itu mencebikkan bibirnya, 'Kalau gak cinta, ngapain ngelamar, kan...