"Luka memarnya agak serius. Untuk sementara, jangan melakukan aktifitas yang menggunakan kaki, ya. Jadi, Nona harus beristirahat selama 4 jam ke depan," ujar dokter di ruang kesehatan kampus.
Maira mengangguk sambil berkata, "Baik, Bu."
"Jangan lupa diminum obatnya, agar rasa sakitnya sedikit hilang," nasehat dokter itu sambil mengemasi alat kedokterannya.
"Iya Bu, terima kasih."
Dokter itu tersenyum, "Sama-sama, Nona. Saya permisi kalau begitu. Semoga lekas sembuh," ucap si Dokter. Dia beranjak dan keluar dari ruangan itu yang terus diperhatikan Maira dan Aliza.
Sebenarnya Maira agak bingung, kalau emang Dokter ini memang bertugas di ruang kesehatan kampus, kenapa dia malah pergi keluar serta membawa alat kedokterannya? Kalau dipikir-pikir, Maira belum pernah melihat dokter tersebut. "Apa dia dokter cadangan di sini?" batinnya bertanya.
'Ceklek'
Aliza masuk sambil menenteng kantong plastik. Dia baru saja menunaikan sholat dzuhur dulu. Lalu membeli pembal*t untuk Maira, yang kebetulan datang bulan, ketika tadi dirinya hendak melaksanakan salat Dzuhur. Maha Suci Alloh dengan segala keadilan-Nya.
"Gimana katanya, apakah lukanya makin parah?" tanya Aliza.
"Katanya sih, gak boleh dipake jalan dulu selama 4 jam," jawab Maira.
"Terus, bagaimana dengan kuis kamu hari ini?" tanya Aliza.
"Sebenarnya, kejadian ini ada baiknya juga sih, hihi. Karena aku tak harus membuat alasan untuk bolos praktek soal suntik-menyuntik," ucap Maira.
"Ck, kalau kamu gak siap dengan soal suntikan. Kenapa ambil jurusan itu sih?" tanya Aliza heran.
"Ish, aku suka sekali dengan teorinya, tapi sangat tidak suka dengan prakteknya," jawab Maira cemberut.
"Kalau soal teori, di kelas informatika juga banyak kali. Coba ikut kelas denganku!" ucap Aliza.
"Dan menjadi murid kakakku, si playboy cap tokek itu? Sorry. Lebih baik aku mau menjadi istri CEO, dari pada menjadi murid pak Reinald menyebalkan itu," jawab Maira sambil meremas kepalan tangan kirinya.
Maira begitu marah saat ini. Awas saja! Dia akan buat perhitungan dengan bujang kadal laut itu. Berani-beraninya dia membuat teman-temannya menjadi mengibarkan bendera perang ke arahnya.
Tak jauh berbeda dengan Maira, Aliza pun sedang memikirkan dosen genitnya yang tak lain adalah kakak sahabatnya sendiri. Aliza ingin sekali menguyel-uyel wajah tampannya si dosen belang itu.
"Apa sebaiknya kita sinadia saja kakakmu itu?"
"Hah?" Maira terlonjak kaget mendengar celetukan Aliza. Yang benar saja! Walaupun sifat kakaknya itu sangat sekali membuat Maira ingin memakannya. Tapi, tetap saja Reinald adalah kakak tersayangnya.
"Apanya yang Hah?" tanya Aliza kebingungan.
"Apa maksudmu, kamu menyuruhku memberikan sinadia pada kakakku? Aliza sayang, semenyebalkan apapun kakakku, aku tetap sangat menyayanginya," ucap Maira.
Aliza terlonjak kaget. "Apakah aku mengatakan akan meracuni Reinald pada adiknya? Oh tidak! Bagaimana kalau Maira melaporkannya ke pak Rei?" batin Aliza.
"Memangnya aku bilang begitu, ya?" tanya Aliza takut.
"H---"
"Jadi, siapa yang ingin membunuhku?" jawaban Maira menggantung karena ada suara yang mendahuluinya berbicara.
Maira dan Aliza menoleh ke asal suara tersebut hampir bersamaan. Aliza melotot, pasalnya orang yang barusan bicara itu tak lain adalah orang yang tengah dibicarakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suami Killer-ku (On Going)
General Fiction--Saat cinta diperkuat dengan ikatan pernikahan.-- "Bang!" "Ya." "Kenapa Abang lamar Mai?" "Ingin." "Apakah ... Abang selama ini jatuh cinta ya pada Mai?" "Jangan sembarangan!" Gadis itu mencebikkan bibirnya, 'Kalau gak cinta, ngapain ngelamar, kan...