Jalanan di kota Jakarta tak sepadat beberapa jam yang lalu, bahkan terkesan lenggang untuk seukuran kota Metropolitan itu. Waktu sudah menunjukkan pukul tiga dini hari, hanya menunggu beberapa jam lagi, maka kegelapan malam akan segera tergantikan dengan terangnya siang.
Di tengah tenangnya malam, saat sebagian masih nyaman di atas ranjang untuk merajut mimpi, memulihkan energinya untuk hari esok, tetapi tidak dilakukan oleh seorang Radhi.
Manusia yang sudah dari pukul empat sore mengelilingi kota Jakarta hanya untuk satu tujuan. Bahkan bahan bakar mobilnya sudah hampir mencapai garis merah, padahal tadi sore dia sudah mengisinya sampai full tank.
Walau perih di kedua matanya yang sudah sangat memerah akibat dipaksa untuk terus terbuka, serta perut yang melilit karena belum memasukan makanan apapun sedari bangun tadi pagi, kaki yang sudah terasa pegal sebab terus menginjak gas tanpa henti, tetapi sekuat tenaga dia terus memaksakan anggota tubuhnya untuk terus bekerja sampai dia bisa mencapai tujuannya, yaitu menemukan keberadaan istrinya.
“Uaaaahhhkkh!” Sudah puluhan kali mulutnya terbuka lebar sampai mengeluarkan sebutir air di sudut matanya, menguap pertanda dia sudah mengantuk berat.
“Khumaira, pleaseee kamu sembunyi di mana, Sayang?! Mas mencarimu,” gumamnya yang seketika disambut senyap, seolah lirihannya langsung tersapu angin malam yang begitu dingin. Mata sayunya terus menelusuri pinggiran jalan berharap menemukan sosok wanita yang begitu dicintainya—walau hatinya tak pernah sudi membayangkan istrinya berada di sana. Di pinggiran jalan dalam cuaca yang begitu dingin.
“Arrrgggh!” Radhi memukul kuat setir saat mobil yang dikendarainya tak bisa lagi berjalan. Kehabisan bensin.
“Sshhh!” Radhi meringis saat merasakan perih di sudut bibirnya. Mengusap pelan dan melihat sedikit darah menempel di ujung jarinya.
Tadi sore, saat tak menemukan Maira di rumahnya. Dan tentunya setelah mendapatkan berbagai omelan ibunya, dia langsung mencari istrinya di berbagai tempat yang dia tahu selalu dikunjungi wanita itu. Tempat buku, Galeri Kesenian, rumah Alexa dan rumah kakak iparnya, Reinald. Sampai sesudah shalat Magrib dia memberanikan diri mengunjungi rumah mertuanya berharap dirinya menemukan istrinya.
Masih terekam jelas teriakan Kayla, ibu mertuanya penuh histeris saat mengetahui jika putrinya tak pulang-pulang dan belum ada kabar. Khawatir juga shok, pasalnya Maira tak pernah bepergian tanpa seizin orang rumah. Dulu selalu izin pada orang tuanya, dan sekarang pada suaminya apalagi waktu sudah menunjukan pukul 9 malam. Radhi bersimpuh meminta maaf kepada kedua mertuanya, dia tak menyangka jika bentakannya pagi hari tadi adalah puncak dari kesabaran istrinya.
Dia baru menyadari jika dirinya bersikap keterlaluan, dan sekarang dia menyesalinya setelah semuanya sudah terlambat. Istrinya pergi tanpa pamit.
Bugh!
“Papi.” Kayla menjerit shok saat suaminya tanpa aba-aba meninju pipi menantunya. Penglihatan Radhi merasakan kabur seketika saat tiba-tiba kepalanya dihantam seseorang. Satu pukulan tetapi begitu menyakitkan.
“Sudah saya katakan, kembalikan putri saya jika anda merasa kerepotan!” Zamzam berdesis tajam dan langsung membalikkan badannya masuk ke kamar. Meninggalkan Radhi yang semakin merasakan marah, marah pada dirinya sendiri.
“Allahu Akbar Allahu Akbar!”
Radhi mengerjap saat kumandang azan subuh membangunkannya. Mengerjapkan matanya beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya yang masuk pada kedua netranya. Merenggankan ototnya saat seketika dia merasakan pegal. Ternyata dia ketiduran di dalam mobil yang terparkir di tepi jalan.
“Astaghfirullah.” Radhi mengusap wajahnya lalu bersiap-siap keluar untuk menjalankan sholat Subuh. Dia yakin ada masjid di sekitarnya, saat mendengar kumandang azan itu begitu jelas terdengar. Memastikan mobilnya terkunci, dia berjalan mulai mencari masjid terdekat.
“Assalaamu’alaikum warahmatullah, as-alukal fauza bil Jannah.” Radhi menolehkan kepalanya ke kanan, lalu ke kiri, “Assalaamu’alaikum warahmatullah, as-alukan najaata minannaar.”
Setelah itu, dia mengusap wajahnya, “Asyhadu an laa ilaaha illaa huar Rohmaanur Rohiim. Alloohumma adzhib ‘anniyal hamma wal hazan.”
“Astaghfirulloohal ‘Adziim, alladzii laa ilaaha illaa hual Hayyal Qoyyuuma waatuubu ilaih ….” Untuk sejenak Radhi melepaskan semua kesahnya hanya untuk mempusatkan hatinya pada sang pencipta akan dirinya juga … masalah yang tengah dihadapinya.
“Ya Rabb, Kau maha pemaaf atas segala dosa hamba-Mu. Ampunilah semua dosa dan kesalahan hamba yang bagaikan air lautan ini. Maafkan segala kekhilafan atas segala kufur yang telah hamba lakukan, tidak mensyukuri semua nikmat yang telah Engkau berikan. Hamba mohon janganlah Kau mencabut rasa nikmat ini dengan siksa-Mu.” Tanpa terasa Radhi meneteskan air matanya saat pikirannya kembali merekam segala perlakuannya pada Maira akhir-akhir ini.
Matanya terpejam rapat, kilasan kejadian pagi tadi terus terputar dalam pelupuk matanya. Adegan di mana dia meninggalkan Maira yang tengah merintih dengan isakan hebat penuh kesakitan. Kecewa dan putus asa. Tubuh Radhi bergetar hebat, dia telah melalaikan amanah Tuhan atas istrinya. Dia telah melukai hati istrinya melupakan kewajibannya untuk menjaga perasaan juga fisiknya.
“Ya Rabb, lindungilah istri hamba di mana pun dia berada. Titip salam juga maaf untuknya. Tolong katakan padanya bahwa hamba sangat mencintainya. Robbanaa hablanaa min azwaajinaa wadzurriyyaatinaa qurrota a’yun, waj’alnaa lilmuttaqiina imaamaa.” Radhi menutup do'anya dengan do'a kifaratul majlis.
Khumaira. Pulanglah, Sayang. Maafkan Mas! Maafkan semua kesalahan Mas selama ini. Percayalah Mas tak pernah bermaksud menyakitimu, Sayang. Asal kamu tahu, Mas begitu sangat mencintaimu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suami Killer-ku (On Going)
Ficción General--Saat cinta diperkuat dengan ikatan pernikahan.-- "Bang!" "Ya." "Kenapa Abang lamar Mai?" "Ingin." "Apakah ... Abang selama ini jatuh cinta ya pada Mai?" "Jangan sembarangan!" Gadis itu mencebikkan bibirnya, 'Kalau gak cinta, ngapain ngelamar, kan...