"Aliza, kamu kenapa?" Maira bertanya pada sahabatnya yang sebenarnya sudah sejak tadi ingin dia lakukan sewaktu di perjalanan mula.
Aliza hanya memberengut tanpa menjawab pertanyaan Maira. Tercetak jelas kekesalan di wajah putih cantiknya.
"Sudahlah! Mungkin ayahmu gak ada waktu buat anterin kamu ke Kampus, lagian bagus kan kita dapat menghemat waktu dan hemat bensin? Kita dapat tumpangan gratis dari kakakku, hihi." Maira mencoba menghibur sahabatnya yang dia kira kekesalan Aliza dikarenakan ayah sahabatnya tidak jadi mengantar ke Kampus. Padahal kan ....
"Kenapa Kamu gak bilang kalau kakakmu bekerja menjadi supir go.ceng?" Aliza mendelik ke arah Maira.
"Ish sembarangan! Kalau kakakku tahu kamu bicara begitu, habis kamu! Ucapanmu itu akan jadi bumerang bagi citra kemachoan-nya. Apalagi aku perhatikan baru 45% saja perempuan Kampus ini yang digarap kakakku," ucap Maira enteng tanpa melihat ke arah sahabatnya yang sedang melotot itu.
"Maksud kamu apa 45%?"
"Kamu gak tahu yaa? Kalau kakakku itu hobinya membajak."
"Bajak sawah?" tanya Aliza ragu.
"Bajak manusia berjenis lubang."
"Hiiiiiyyyy." Aliza menjerit saat mendengar penuturan Maira tentang kakaknya, Reinald.
Maira mengerutkan dahinya "Kamu kenapa?"
"Hiiiy kakakmu seorang pembantai wanita yaa? Hidung belang."
"Oh ... bukan hidungnya yang belang, tapi pantatnya yang belang, kata mami kakak pernah tercebur air panas waktu kecil, dan waktu kejadian itu kakak sedang pake sem**k, jadi kelihatan masih ada sedikit jejak sem**knya, meski sekarang sudah memudar."
"Hahaha ...." Aliza tertawa seketika saat mendengar cerita Maira. Padahal tadi yang dia maksud hidung belang adalah playboy. Tapi lumayanlah, dapat cerita sebelum menghadapi kuis."
Tanpa mereka sadari, tak jauh dari sana, seseorang sedang menepuk keningnya, "Kamu ini, Dek. Bukan dia yang merusak citra kakak, tapi kamu sendiri," celotehnya entah pada siapa. Namun tak berselang lama, sudut bibirnya terangkat. "Dan kamu si cantik upil, aku akan memberikan hukuman buat kamu, karena telah tertawa diatas cerita konyol sewaktu kecilku itu. Tunggu saja!" ucapnya penuh siasat. Dia melangkah pergi meninggalkan Maira dan Aliza yang sedang sarapan sebelum jam pelajaran mereka dimulai satu jam lagi.
Maira dan Aliza adalah pasangan sahabat semenjak 2 tahun yang lalu, yaitu ketika mereka menjadi Maba di kampus tersebut. Ketika itu, mereka satu kelompok dan kebetulan mengambil jurusan yang sama, yaitu di bidang Fashion. Nah dari sanalah mereka akhirnya dekat dan akrab.
Namun Aliza tak pernah menyangka, kalau dosen di bidang Informatika yang sudah setahun ini menjadi dosennya itu adalah kakak dari sahabatnya. Dia baru tahu baru-baru ini, karena mereka kebetulan bertemu yang awalnya Aliza menyangka kalau Reinald itu adalah pacarnya Maira.
Salahkan Aliza juga yang belum pernah main ke rumah Maira, berbeda dengan Maira yang sering main ke rumahnya.
"Oia Mai, ngomong-ngomong soal kuis, kamu udah siap buat kuis matkul Seni?" tanya Aliza sambil memakan sarapannya.
Maira yang ditanya seperti itu hanya mengendikan bahunya. Tak peduli. "Yaa siap tak siap harus siap kan?"
"Kenapa kamu seperti sudah pasrah duluan? Tidak ada perjuangan sama sekali."
"Yaa aku harus gimana?" tanya Maira tak faham.
"Ck, katamu orang yang bakal seleksi kita itu adalah seorang CEO perusahaan Fashion no 1 di Asia tenggara, dan menempati jajaran no 4 di Benua Asia yang akan langsung turun tangan ke sini, untuk menyeleksi siapa yang punya bakat bagus."
"Ya terus hubungannya dengan kita apa?"
"Ck, jangan pura-pura oon deh! Kalau kita bisa lulus, kita tak perlu susah-susah cari pekerjaan kan?"
Maira menganggukkan kepalanya. "Kalau masalah itu, biar takdir yang menentukan."
"Iya si kalau soal itu, tapi Tuhan juga kan memerintahkan kita untuk berjuang."
"Aku akan berjuang semampuku."
Aliza menghela nafasnya, sahabatnya ini bukan sudah tidak cinta lagi di bidang ini, tapi lebih kepada terkubur oleh ambisinya untuk belajar di Paris itu, ohhh ... Paris ada apa sebenarnya di sana? Sampai bisa membuat sahabatnya seperti membunuh cita-citanya sendiri.
"Eh Mai, lihat chattingan group fakultas Seni, ternyata rumor tentang CEO yang akan turun tangan buat menyeleksi hasil kuis kita hari ini sudah menyebar luas."
Maira memeriksa ponselnya, "O ya?"
"Waaaah Mai, katanya CEO ini masih seorang laki-laki muda loh, usianya 31 tahun, single dan terpenting tampan." Aliza heboh sendiri.
Maira memutar bola matanya, "Emang kalau si CEOnya masih muda dapat membantu kita berhasil dalam kuis begitu? Malah menurutku akan mengganggu, karena konsentrasi terpecah belah."
Aliza menepuk keningnya, "Oia ya," jawabnya sambil mengupil. Maira tersenyum jika melihat Aliza yang ngupil, padahal dalam hidungnya itu bersih tak ada kotoran sedikit pun. Dasarnya aja udah jadi kebiasaan. Untungnya yang lihat cuma dirinya saja, coba orang lain ... gempar pastinya. Wanita anggun hobinya ngupil, apa kata kak Ivan Gunawan?
"Wowowoooow lihat! CEOnya berdarah dingin, tidak suka kebisingan. Perfect dan teliti serta punya sifat otoriter, duuuh kenapa jadi merinding duluanya?" Aliza mengusap tengkuknya.
"Ck itu masih cerita, Al, jangan percaya 100%! Namanya juga 'katanya' belum tentu benarkan? Siapa tahu aslinya bapak-bapak berperut buncit."
"Iiih itu lebih menakutkan lagi."
"Makanya jangan terlalu banyak berhayal, takut pas lihat aslinya, hasilnya sangat jauh dari ekspektasi kita, kan siapa yang kecewa? Mendingan ya kita kumpulkan tenaga buat menghadapi kehidupan ini."
"Menghadapi kuis hari ini, Maira," koreksi Aliza.
"Kuis hari ini sebagian kecil dari hidup kita," jawab Maira tak mau kalah.
"Ya-in aja." jawab Aliza mengalah.
...
"Pagi, Pak!" sapaan para Mahasiswi kepada salah satu dosen yang sedang berjalan di koridor Kampus terus terdengar, ada yang tulus menyapa, ada juga yang terselip niat terselubung di dalam sapaan genitnya itu. Yang disapa hanya menganggukkan kepalanya saja, tidak seperti biasanya yang selalu membalas sapaan mereka dengan disertai gombalan receh khasnya. Namun tidak dengan hari ini. Dia hanya mengangguk tanda kesopanan.
Reinald berjalan dengan tenang di sepanjang koridor Kampus tempat dia mengajar. Puluhan mahasiswi menyapanya yang dia balas hanya dengan sebuah anggukan saja.
Mungkin mereka merasa sedikit aneh terhadapnya, playboy adalah nama tengahnya, tidak ada satu hari pun tanpa seorang perempuan yang tidak masuk pada jeratnya, malah kebanyakan mereka yang sengaja masuk pada jeratannya itu. Siapa peduli, karena saat ini dia sedang fokus pada target teristimewa-nya, gadis cantik nan anggun, tapi punya kebiasaan yang unik. Dia hanya fokus padanya, pada sahabat dari adiknya itu. Aliza.
Ribuan siasat yang telah tersusun di dalam otaknya hanya untuk sekedar melihat gadis yang punya hobi ngupil itu memberengut kesal terhadapnya, seperti tadi pas dia menjemputnya untuk pergi ke Kampus bareng bersamanya.
'Ceklek' Reinald membuka pintu ruangan pribadinya.
"Apa kabar, Bro?" Reinald berjingkat kaget, membalikkan badannya dan seketika matanya melotot sambil menunjuk seseorang di hadapannya.
"KAMU!" ucapnya setengah menjerit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suami Killer-ku (On Going)
General Fiction--Saat cinta diperkuat dengan ikatan pernikahan.-- "Bang!" "Ya." "Kenapa Abang lamar Mai?" "Ingin." "Apakah ... Abang selama ini jatuh cinta ya pada Mai?" "Jangan sembarangan!" Gadis itu mencebikkan bibirnya, 'Kalau gak cinta, ngapain ngelamar, kan...