"Bang Suhe?" gumam Maira pada dirinya sendiri.
"Apa Mai, bang Suhe?" Aliza yang mendengar gumaman Maira, bertanya.
"Ap-apa?" Maira tergagap. Wajahnya memerah ketika sadar bahwa dirinya menjadi pusat perhatian. Dengan ragu dia mengangkat tangannya ke atas. "I-iya, Pak," ucapnya gugup.
Maira sempat melihat bahwa pria yang tengah menatapnya itu sama terkejutnya dengan dirinya. Meski sekarang wajah pria itu kembali datar seperti layar HP-nya. "Apa dia mengenaliku?" tanya Maira dalam hati.
"Ekhem. Maaf, Nona. Apakah anda mengikuti kelas ini?" tanya Radhi teramat tenang, membuat Maira harus ekstra hati-hati jika tidak ingin terhanyut. Bukankah air yang tenang lebih berbahaya daripada air yang beriak?
Maira merutuki pertanyaan Radhi. "Ngapain duduk di sini kan, kalau nggak ikutan coba? Aneh," batinnya mendumel.
"I-iya, Pak, benar," jawab Maira tersenyum canggung. Teman sekelasnya terus menatap Maira dan sang dosen CEO itu bergantian.
"Terus bisa Nona jelaskan kenapa Anda membaca buku kesehatan di jam belajar Seni?"
'Skakmat' Maira menggigit bibirnya sambil menatap ke arah sahabatnya, meminta pertolongan. Namun aliza pura-pura tak melihat, walau tangannya terus memberi isyarat damai. Maira tak tahu kalau perbuatannya itu dapat menyebabkan mimisan seluruh murid pria di sana.
Radhi merasa kesal, karena bukannya menjawab, Maira malah mengigit bibirnya seperti itu, membuat iler para pria di sana menetes seketika. "Waktu kecil jelmaan hulk, sudah besar menjadi penggoda, huh?" "JAWAB NONA!"
Seluruh murid yang berada di sana terkejut dengan bentakan Radhi, tak ada satu pun yang berani mengangkat kepalanya. Walaupun mereka masih sangat ingin melihat wajah rupawan dosen CEO itu. "Serammmmm," ucap mereka dalam hati.
Begitupun dengan Maira, dia terlonjak kaget mendengar dirinya dipanggil, dibentak pula, apalagi jangan lupakan aura intimidasi itu, dia mencubit pelan pinggang Aliza yang ikut-ikutan menunduk.
"Bodoh kamu Maira! Ceroboh."
Radhi yang sadar bahwa dirinya terbawa emosi menghirup udara dari hidungnya, lalu dengan pelan menghembuskannya. Sungguh dia tak menyangka akan bertemu gadis hulk itu di tempat ini. Dia juga tak menyangka bahwa adik sahabatnya itu sudah sebesar itu. Ternyata hidup ini terus berjalan ... begitu cepat.
"Kita mulai saja pelajaran hari ini. Saya harap hasil dari kalian semua dapat memuaskan Saya. Jangan menganggap remeh kuis ini, karena kesungguhan kalian sekarang, 70% menuntun kalian di masa mendatang. Mengerti!" ucap Radhi panjang lebar, tegas dan tajam.
"Baik, Paaak," jawab mereka serempak.
"Kamu!" Radhi menunjuk ke arah seorang yang duduk di bangku paling depan. "Bagikan soalnya!" Radhi menaruh lembaran kertas kuis di depan meja murid tersebut.
"B-b-b-b-b-baik, P-p-p-pak," jawab murid itu gagap.
Radhi memicingkan matanya, "Kamu takut sama Saya?!" tanyanya penuh intimidasi.
'Malah nanya lagi.' Murid itu menggelengkan kepalanya cepat, tapi secepatnya pula menganggukkan kepalanya. Tubuhnya sudah berkeringat dingin. Wajahnya teramat pias.
"Lupakan! Sekarang bagikan!" perintah Radhi tegas.
Radhi berjalan menuju meja yang disediakan untuknya. "Dan ingat!" Radhi sengaja menggantungkan ucapannya, agar semua murid memperhatikannya. Matanya menelusuri setiap murid di sana. "Jika saya mendapati kesalahan maksimal dari 5 pertanyaan, saya menjamin ... kalian tidak akan lulus tahun ini. Silakan untuk mengulang pelajaran di tahun berikutnya," gertak Radhi dengan aura membunuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suami Killer-ku (On Going)
General Fiction--Saat cinta diperkuat dengan ikatan pernikahan.-- "Bang!" "Ya." "Kenapa Abang lamar Mai?" "Ingin." "Apakah ... Abang selama ini jatuh cinta ya pada Mai?" "Jangan sembarangan!" Gadis itu mencebikkan bibirnya, 'Kalau gak cinta, ngapain ngelamar, kan...