"Ya Allah, Bi. Maira mana?" Melisha langsung menyerbu PRTnya saat wanita paruh baya itu keluar dari kamar putra juga menantunya. Saat di bandara menunggu pesawat yang ditumpangi suaminya lepas landas, dia mendapat telepon dari rumahnya jika terjadi sesuatu pada Maira, menantunya, membuat dirinya terpaksa kembali lagi tanpa menunggu sang suami. Dia pulang naik Taxi, dan membiarkan supir yang menjemput suaminya.
"Nona Maira sekarang sudah tidur, Nya."
"Memang apa yang terjadi, Bi?"
"Anu, Nya. Ta-tadi si non dan den Radhi sempat bersitegang, lebih tepatnya ... den Radhi marah dan meninggalkan si non tanpa sarapan. Sepeninggal den Radhi si non menangis hebat, bahkan ... bahkan ...." Bibi PRT itu meremat jemari tangannya merasa ragu juga takut mengatakannya.
"Teruskan! Bahkan apa?"
"A-anu, mohon maaf sebelumnya!" PRT itu masih ragu mengatakannya. Dia takut dicap tukang ngadu. "Bi-bibi baru kali ini melihat aden semenakutkan seperti tadi, N-Nya. Ba-bahkan Bi-bibi juga ikutan gemetar saat melihat tu-tubuh si non terhuyung karena dorongan d-den Rad----"
"APA? RADHI MENDORONG MAIRA?" Melisha sontak berteriak saat mendengar berita tersebut.
"A-anu, N-Nya. Se-sepertinya d-den Ra-Radhi tidak se-sengaja me-melakukannya." Tubuh PRT itu semakin gemetar mendengar teriakan nyonya besarnya. Belum hilang rasa shok yang tadi, sekarang ditambah lagi.
"Saya gak peduli, mau sengaja kek, mau kelepasan kek. Saya gak terima mantuku diperlakukan seperti itu," tolak Melisha masih menggebu.
"A-ampun, N-Nyonya. Bi-bibi juga tidak bi-bisa berbuat a-apa-apa."
Mata Melisha kicep saat saat menyadari jika dirinya telah melampiaskan kemarahannya pada orang yang salah. Mencoba meredakan amarahnya, Melisha menghirup udara sedalam mungkin, lalu mengembuskannya perlahan. "Maaf, Bi, saya tadi terbawa emosi atas berita itu. Terima kasih ya, sudah menjaga mantu saya."
"Tidak apa-apa, Nya. Saya maklum."
"Apa Maira sudah sarapan?"
Prt itu menggeleng. "Ta-tadi si non nangisnya gak mau berenti, mungkin saking lelahnya, si non sampai tertidur di pelukan Bibi, Nya."
"Siapa yang memindahkannya, Bi."
"A-anu, tadi mang Ujang, Nya. Nyonya jangan kasih tahu den Radhi, ya, soal mang Ujang mangku non Maira. Bibi takut mang Ujang jadi pengangguran."
"Yang bayar mang Ujang itu saya. Uang Radhi kan uang saya juga, Bi."
"I-iya, Nya. Bibi mohon maaf."
"Bukan itu maksud saya, Bi. Maksud saya berbicara seperti itu agar Bibi sama yang lainnya tak perlu khawatir dan takut pada putra saya. Yang memegang kendali rumah ini, Cuma saya dan suami."
"I-iya, Nya. Terima kasih."
"Ya sudah, saya mau lihat Maira dulu. Tolong siapkan sarapan untuk suami saya, ya. Sepertinya suami saya sedang di perjalanan menuju ke rumah."
"Baik, Nya. Saya permisi."
Melisha mengangguk lalu berjalan saat PRTnya sudah tak di hadapannya lagi, dengan teramat pelan dia membuka pintu, takut akan mengganggu tidur menantunya. Dia duduk di samping Maira, tatapannya begitu sendu, merasa kasihaan dengan hubungan putranya yang entah kenapa semakin berlarut. Dia bahkan sudah membayangkan bagaimana wajah putranya saat mengetahui jika dirinya akan menjadi ayah.
"Apa sebenarnya rencana-Mu, ya Allah? Hikmah apa yang terkandung dalam pelomik ini?" gumam Melisha lirih. Hatinya begitu perih melihat Maira yang masih saja terisak meski dalam tidur. "Kuatkan pernikahan mereka, Ya Rabb. Semoga mereka berhasil menghadapi ujian ini. Jadikanlah kami hamba yang terus dalam Rahmat-Mu. Maha suci Engkau, Dzat yang maha memulai juga Dzat yang maha mengakhiri."
Melisha mengusap lengan Maira saat melihat wanita muda itu gelisah dalam tidurnya, dia terus membisikkan hal-hal positif agar menantunya kembali tenang.
Membenarkan selimut Maira, Melisha akhirnya keluar kamar saat mendengar suara mobil yang berhenti di halaman rumahnya. Suaminya sudah datang, dia akan mengecek keadaan Maira sesudah menyelesaikan tugasnya sebagai istri.
..............
Maira meringis saat perutnya kembali sakit, tangannya meremas pelan berharap rasa sakit itu menghilang, melilit seperti sembelit. Tak hanya perut, punggungnya pun rasanya seperti terbakar, panas dan juga ngilu.
"Ennggghhh!"
Sekarang dia menggigit bibirnya saat rasa sakit itu kian menjadi. Ini perasaan ketika dia akan mengalami menstruasi, tetapi sekarang lebih parah, bahkan rasanya sampai menusuk ke dada.
"Ya Allah, sayang. Kamu kenapa? Ada yang sakit?" Melisha segera menghampiri Maira dan memberikan pertanyaan secara beruntun. Raut wajahnya memucat saat Maira hanya menjawab dengan erangan pelan.
"Perutku sakit, Mi. Sshhh," jawab Maira susah payah.
"Mami panggilkan dokter dulu biar suruh ke sini."
Maira menahan tubuh mertuanya agar tetap duduk. "Jangan, Mi. Mai ingin pergi langsung ke sana. Mai sekalian ingin tahu secara langsung dan melihat keberadaannya."
"Tapi----"
"Insyaallah, Mai kuat kok, Mi," potong Maira menenangkan.
Melisha hanya mampu mengembuskan napasnya. "Maafkan Mami ya, Sayang. Mami gak bisa---"
"Mi!" Maira menggelengkan kepalanya, matanya sudah berkaca-kaca. Dia tahu ke arah mana ibu mertuanya bicara. "Maaf, dari tadi Mai gak sopan memotong ucapan Mami terus. Tapi ... bolehkan jika saat ini kita jangan bahas apa-apa dulu. Mami tahu jika akhir-akhir ini hormon Mai lagi gak stabil, lebih sensian. Hehehe."
Melisha mengangguk walau penglihatannya sama-sama sudah memburam. "Iya. Mami akan melakukan apapun untukmu. Apapun itu."
"Makasih, Mi."
Melisha tersenyum lalu tangannya terulur mengusap perut Maira. "Sayang. Kamu lagi ngapain? Kok bikin Mami kesakitan sih? Jangan nakal dong! Gak baik, ah!" Lalu mendongak ke arah Maira saat mendengar embusan napas menantunya. "Kamu merasa sakit lagi?" tanyanya.
Maira menggeleng. "Sudah mendingan, Mi. Perut Mai rasanya hangat dan keramnya berangsur menghilang."
Melisha ikut mengembuskan napasnya lega. "Alhamdulillaah ... kamu seneng banget ya Nenek sapa, apalagi jika pa---" Melisha melipat bibirnya. Hampir saja dia keceplosan menyebutkan putra jeleknya itu.
"Alhamdulillah, Mi. perut Mai sudah membaik. Mai permisi dulu buat ke kamar mandi."
"Baiklah, Mami tunggu kamu di bawah, ya. Mami akan menghubungi dokternya dulu biar nanti bisa langsung periksa. Tapi sebelum itu, kamu makan ya, Mami sudah membawakan makanan untukmu sekaligus susu khusus buat kamu. Dari pagi kamu belum makan apapun, kan? Jadi pastikan kamu memakannya, meski kamu gak punya selera. Kasihani tubuhmu juga cucu Mami, Sayang!"
"Iya, Mi. Mai pasti memakannya, kok."
"Pintar. Mami ke bawah dulu ya." Maira menganguk sebagai jawabannya.
Setelah merapikan tempat tidurnya yang barusan dia pakai, Maira akhirnya menuju kamar mandi sambil membawa baju ganti.
............................
KAMU SEDANG MEMBACA
Suami Killer-ku (On Going)
General Fiction--Saat cinta diperkuat dengan ikatan pernikahan.-- "Bang!" "Ya." "Kenapa Abang lamar Mai?" "Ingin." "Apakah ... Abang selama ini jatuh cinta ya pada Mai?" "Jangan sembarangan!" Gadis itu mencebikkan bibirnya, 'Kalau gak cinta, ngapain ngelamar, kan...